Minggu, 06 Mei 2012

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM

universitas gunadarma




Dampak Kenaikan Harga BBM

            Menurut kajian pemerintah, jika harga BBM naik Rp 1.500 per liter, inflasi diperkirakan bertambah 2,15 %. Penghematan yang diperoleh pemerintah mencapai Rp 31,58 triliun. Jumlah penduduk miskin naik sekitar 0,98 % dan daya beli masyarakat hanya menurun 2,1 persen. Pemerintah yakin harga-harga nantinya masih bisa dikontrol dan harga pangan tidak akan melonjak. Hitung-hitungan di atas kertas itu memberi kesan, begitu sederhananya imbas/dampak kenaikan harga BBM di mata pemerintah. Seolah-olah nasib rakyat terutama rakyat kecil di mata pemerintah begitu remeh.
Bisa dipastikan, kenaikan harga BBM akan makin menyengsarakan rakyat. Pemerintah sadar dan tahu akan hal itu, tapi tetap ngotot ingin menaikkan harga BBM. Berbagai dampak langsung dan tak langsung akan diderita oleh rakyat. Ibaratnya, akibat kenaikan harga BBM, rakyat dipukuli dari kiri, kanan, depan dan belakang. Wajar jika nanti banyak rakyat yang KO, pingsan karenanya.

            Rencana itu menuai banyak penolakan dari hampir semua kalangan masyarakat. Bahkan menurut hasil survey LSI dengan responden dari seluruh propinsi di Indonesia, 86 % masyarakat menolak kenaikan harga BBM. Tetapi rupanya pemerintah sudah tipis nuraninya (atau mungkin tidak punya lagi) sehingga tetap ngotot mengajukan rencana kenaikan harga BBM untuk disetujui DPR. Jika DPR juga menyetujuinya, lengkap sudah kenyataan pahit negeri ini dimana pemerintah dan wakil rakyatnya telah kehilangan nurani, tidak mau repot dan lebih memilih kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya sendiri. Mungkin jika tetap ngotot menaikkan harga BBM, kiranya pantas dikatakan bahwa pemerintah telah bohong, khianat dan zalim terhadap rakyatnya sendiri.

            Dampak langsung dari kenaikan BBM yaitu masyarakat atau konsumen dari semua lapisan masyarakat mulai dari lapisan bawah sampai lapisan atas, baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap. Meskipun mereka sama-sama menanggung dari dampak kenaikan harga BBM. Nampaknya lapisan bawah yang akan menanggung beban yang cukup berat atas kenaikan harga BBM. Disamping konsumen, para pengusaha itu sendiri juga merasakan berat untuk menaikkan harga jual barang dan jasanya sebagai akibat dari penyesuaian biaya produksi dan transportasinya, mengingat kondisi perekonomian yang ada saat ini sangat payah. Ancaman kebangkrutan akan dapat mengakibatkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran dan akhirnya menimbulkan maslah sosial lain yang jauh lebih kompleks.

            Kenaikan harga BBM otomatis akan meningkatkan laju inflasi. Dalam hitungan pemerintah menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Negara (PPN)/Kepala Bappenas Armida, kenaikan harga BBM akan membuat laju inflasi menjadi 7% atau naik dari asumsi sebelumnya yaitu 5,3%. Kenaikan inflasi itu akan menyebabkan angka kemiskinan naik menjadi sekitar 11,93% - 12,08%. Kenyataannya nanti biasanya lebih besar dari angka-angka prediksi pemerintah itu.
Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), Said Iqbal, mencatat, kenaikan BBM sebesar 28,75 persen di tahun 2008 mengakibatkan inflasi naik menjadi 11,01 persen (RMOL, 5/3). Maka rencana kenaikan harga BBM sebesar 33,3 % nanti dimungkinkan bisa menyebabkan inflasi lebih dari 11 persen.
Dengan semua itu, otomatis daya beli masyarakat akan turun dan hampir dipastikan jumlah orang miskin akan meningkat. Pengalaman tahun 2005, dampak kenaikan BBM jumlah orang miskin melonjak menjadi 16 % meski saat itu ada program BLT. Fakta tahun 2005 itu bisa terulang pada tahun 2012 ini. HS Dillon, utusan khusus Presiden untuk penanggulangan kemiskinan, memperkirakan jumlah orang miskin akan bertambah 1,5% dari jumlah penduduk atau bertambah 3,5 juta orang (tempo.co, 7/3). Bahkan sebagian pihak memperkirakan jumlah orang miskin akan bertambah jauh lebih banyak dari angka itu. Disamping itu, akibat menurunnya daya beli dan naiknya harga pangan, pemenuhan gizi masyarakat pun akan menurun. Akibatnya, jumlah anak rawan gizi akan makin banyak.
Kenaikan harga BBM juga akan menambah jumlah anak putus sekolah. Data tahun 2011, ada 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang putus sekolah. Selain ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Berdasarkan pengalaman tahun 2010 akibat kemiskinan yang menimpa masyarakat terjadi lonjakkan angka putus sekolah sebesar 30 %. Karenanya, hampir bisa dipastikan akibat kenaikan harga BBM angka putus sekolah semakin tinggi. Hal itu sama saja makin banyak rakyat bawah yang tidak punya kesempatan memperbaiki taraf hidupnya dan terpaksa terjerat dalam siklus kemiskinan dan kebodohan.
Selain itu, kenaikan harga BBM juga berdampak pada para pelaku usaha. UKM yang selama ini sudah tumbuh menjadi 50 juta dan menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat akan sangat terpengaruh. Bukan mustahil dampak kenaikan harga BBM akan banyak UKM yang gulung tikar.
Semua beban kenaikan harga BBM itu akan makin besar dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik per 1 Mei 2012. Makin lengkaplah penderitaan yang akan diderita oleh rakyat.

REFERENSI

Rabu, 02 Mei 2012

(Tulisan 5) SEJARAH HUKUM DI INDONESIA

Universitas Gunadarma

Tulisan 5
Sejarah Hukum Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

    Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

    Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia hingga dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-IndiĆ« (Hindia Belanda) “telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Sistem hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari ‘Papal Revolution’ hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19.
Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan – sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda. Di masa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk.
BAB II
PEMBAHASAN

    Tradisi hukum yang dipilih setelah kemerdekaan

    Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapatdapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial, yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional.

Keinginan membangun tata hukum yang lebih bercirikan Indonesia dengan segala atribut keasliannya memang merupakan harapan (das sollen). Oleh karena mewarisi sejumlah peraturan serta lembaga hukum dari masa kolonial sesungguhnya berarti mempertahankan cara-cara berpikir serta landasan bertindak yang berasal dari paham individualistis. Hal itu tentu saja tidak sejalan dengan alam pikiran masyarakat Indonesia yang berlandaskan paham kolektivistis. Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono, merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
1.    Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang
2.     Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula
3.    Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukansecara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secarasubstansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat.Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

    Hukum tertulis dianggap futuristik dan berkepastian

    Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern. Hukum modern memiliki ciri:
1.    bentuknya yang tertulis,
2.    berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan
3.    sebagai instrumen yang secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.

    Ketiga ciri hukum modern tersebut memang secara eksplisit melekat pada sistem hukum yang
berasal dari Eropa daratan yang diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh
karena itu, pertimbangan untuk memilih hukum yang bentuknya tertulis
dianggap lebih berorientasi ke masa depan. Kemudian masalah uniformitas
dalam keberlakuannya juga menjadi pertimbangan penting lainnya seiring
dengan cita-cita pendirian negara bangsa ini dalam bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu apabila pilihan dijatuhkan pada
hukum adat, dianggap akan menuai sejumlah masalah di kemudian hari,
karena keragaman hukum adat sebagai sistem hukum rakyat yang umumnya
tak terumus secara eksplisit. Di samping itu juga sistem hukum adat
keberlakuannya bersifat lokal yang beragam pada budaya yang berlain lainan.

    Keadaan yang digambarkan di atas, kalau ditengok jauh ke belakang,
sesungguhnya akibat kuatnya pengaruh konsep adatrechtpolitiek-nya Van
Vollenhoven yang sangat ironi dan memutarbalikkan fakta. Betapa tidak,
bahwa adatrechtpolitiek yang dimaksudkan untuk melestarikan hukum lokal
tetap di tangan rakyat setempat sebenarnya mengukuhkan kekuasaan
lembaga-lembaga yang diawasi oleh Belanda atas hukum adat. Bahwa hukum
adat adalah hasil karya penguasa Belanda terbukti dengan pembentukan
pengadilan adat oleh pemerintah kolonial dengan pemeriksaan keputusan
pengadilan adat oleh Landraad dengan pemberian keputusan persoalan adat
oleh hakim Landraad yang berkebangsaan Belanda. Di samping itu para
pejabat Belanda senantiasa hadir dalam sidang-sidang pengadilan adat, para
pakar Belanda dan Indonesia didikan guru-guru Belanda yang melakukan
penelitian adat secara besar-besaran yang laporannya ditulis dalam Bahasa
Belanda. Itu semua telah cukup membuktikan bahwa penelitian adat yang
telah dilakukan nyata-nyata telah melanggar asas utama teori hukum adat,
bahwa hukum adat itu hidup dalam tradisi lokal. Kini setelah ditulis, hukum
adat hidup dalam buku, oleh para hakim Belanda digunakan seolah-olah
buku-buku tersebut adalah kitab Undang-Undang.
Akibat keadaan tersebut, kemudian terjadi anggapan keliru dari orangorang
Indonesia yang berkedudukan tinggi yang beranggapan bahwa diri
mereka bebas dari adat, walaupun penggolongan hukumnya adalah
sebaliknya. Seringkali dalam pandangan mereka adat adalah hukum bagi
desa-desa yang terbelakang, bukan hukum pusat-pusat perkotaan tempat
mereka tinggal. Sedangkan bagi rakyat di desa-desa yang hukum adatnya
dianggap berlaku, tatkala pecah revolusi di beberapa tempat mereka
berprakarsa menghapuskan pengadilan adat.

sesungguhnya para penanggung jawab
pembangunan hukum di Indonesia di awal-awal kemerdekaan memang
dihadapkan pada kondisi yang amat sulit tentang bagaimana menciptakan
suatu sistem hukum untuk suatu bangsa yang telah bernegara, merdeka,
dengan semangat yang besar untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan.
Akan tetapi dalam kenyataannya terpilah-pilah dalam ihwal kesukuan,
kebudayaan, dan keagamaan yang tentu saja terpilah-pilah pula dlam ihwal
kebutuhan hukumnya. Sesungguhnya arah penyatuan bangsa dengan
menundukkan seluruh warga bangsa ke satu sistem hukum modern yang
berorientasi ke tradisi hukum Eropa yang sangat mendahulukan nilai
kepastian, bukannya tidak rasional.


Ciri-ciri serta
karakteristik hukum modern di abad ini harus terdiri atas: (a) uniform and
unvarying in their application; (b) transactional; (c) universalistic; (d)
hierarchical; (e) organized bureaucratically; (f) rational; (g) run by
professional; (h) lawyers replace general agents; (i) amandable; (j) political;
(k) legialative, judicial and executive are separate and distinct.

Kristalisasi dari ciri-ciri di atas, idealnya untuk suatu hukum nasional
yang modern dalam era globalisasi di samping mengandung “local
characteristic” seperti Ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam, dan
tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan
(international trends) yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab.24
Sebagai suatu negara bangsa yang merdeka, Indonesia yang berdaulat, serta
merupakan bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang beradab lainnya,
untuk menggunakan hukum adat yang bermuatan tradisi bangsa dengan
“local characteristic”-nya, sebenarnya juga tidak cukup memadai. Oleh
karena hukum adat sesungguhnya hanya relevan untuk menata kehidupan
penduduk pribumi di desa-desa dan kampung-kampung. Sedangkan dalam
rangka mengakomodasi berlangsungnya interaksi yang semakin kompleks
antar masyarakat bangsa-bangsa beradab dalam berbagai bentuknya, baik
kerjasama investasi maupun perniagaan yang berlangsung di pusat-pusat
perkotaan, maka untuk kepentingan tersebut diperlukan kaidah hukum yang lebih berkepastian dan berlaku untuk semua warga masyarakat tanpa
kecualinya.

BAB III
PENUTUP

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif
masa lalu sebagai latar belakang. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial. Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat di samping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.
    Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu,
penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata
tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan.
Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya
sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh
rasa keadilan masyarakat (substantial justice). Akibatnya, penegakan
hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang
terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement).
Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum,
padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak
melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang
disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum
anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan
pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum
positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih
makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan
yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur
penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara
pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan,
maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan
keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.
_ Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan
apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi
ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses
pembelajarannya. Adalah conditio sine qua non terhadap mereka caloncalon
sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya
dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral
keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan
tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual.




Sumber:
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1B%20Asal-usul%20Landasan%20Hk%20Progresif.pdf

Selasa, 01 Mei 2012

(Tulisan 4) PENGAKUAN HUKUM TENTANG HAK KEBENDAAN ATAU HAK MILIK

universitas gunadarma


Tulisan 4
PENGAKUAN HUKUM TENTANG HAK KEBENDAAN / HAK MILIK


BAB I
PENDAHULUAN

    Pengertian

    Yang dimaksud dengan Benda dalam konteks hukum perdata adalah segala sesuatu
yang dapat diberikan / diletakkan suatu Hak diatasnya, utamanya yang berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak tersebut adalah Subyek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Obyek Hukum. Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BWI, tidak sama dengan bidang disiplin ilmu fisika, di mana dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa), sedangkan dalam pengertian hukum perdata bulan itu bukan (belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak / belum ada yang (dapat) memilikinya .

    Pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II BWI ini mempergunakan sistem
tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan selain dari
yang telah diatur dalam undang undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan . Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan termasuk juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan seseorang.

    Istilah benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan, termasuk didalamnya tagihan /
piutang, atau hak hak lainnya, misalnya bunga atas deposito . Meskipun pengertian zaak dalam BWI tidak hanya meliputi benda berwujud saja, namun sebagian besar dari materi Buku II tentang Benda mengatur tentang benda yang berwujud. Pengertian benda sebagai yang tak berwujud itu tidak dikenal dalam Hukum Adat kita, karena cara berfikir orang Indonesia cenderung pada kenyataan belaka, berbeda dengan cara berfikir orang Barat yang cenderung mengkedepankan apa yang ada di alam pikirannya. Selain itu, istilah zaak didalam BWI tidak selalu berarti benda, tetapi bisa berarti yang lain, seperti : “perbuatan hukum “ (Ps.1792 BW), atau “kepentingan” (Ps.1354 BW),
dan juga berarti “kenyataan hukum” (Ps.1263 BW).










BAB II
PEMBAHASAN


    Dasar Hukum

Pada masa kini, selain diatur di Buku II BWI, hukum benda juga diatur dalam:
a. Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana diatur hak hak
kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung
didalamnya.
b. Undang Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas
penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .
c. Undang Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta
sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek hak milik .
d. Undang Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang mengatur tentang hak
atas tanah dan bangunan diatasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband .

    Macam macam Benda

Doktrin membedakan berbagai macam benda menjadi :

a.Benda berwujud dan benda tidak berwujud
    arti penting pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan benda dimaksud,
yaitu :
• Kalau benda berwujud itu benda bergerak, pemindah tanganannya harus
secara nyata dari tangan ke tangan.
• Kalau benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah tanganannya
harus dilakukan dengan balik nama.
Contohnya, jual beli rokok dan jual beli rumah .
Penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang dilakukan
dengan :
• Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie
• Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat dokumen yang
bersangkutan dari tangan ke tangan
• Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen serta penyerahan
dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan ( Ps. 163 BWI).

b.Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
    Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (Ps.509
BWI). Benda bergerak karena ketentuan undang undang adalah hak hak yang
melekat pada benda bergerak (Ps.511 BWI), misalnya hak memungut hasil atas
benda bergerak, hak memakai atas benda bergerak, saham saham perusahaan.

Benda tidak bergerak adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapat dipindahpindahkan,
seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri melekat diatasnya.
Benda tidak bergerak karena tujuannya adalah benda yang dilekatkan pada
benda tidak bergerak sebagai benda pokoknya, untuk tujuan tertentu, seperti
mesin mesin yang dipasang pada pabrik.Tujuannya adalah untuk dipakai secara
tetap dan tidak untuk dipindah-pindah (Ps.507 BWI). Benda tidak bergerak
karena undang undang adalah hak hak yang melekat pada benda tidak bergerak
tersebut, seperti hipotik, crediet verband, hak pakai atas benda tidak bergaerak,
hak memungut hasil atas benda tidak bergerak (Ps.508 BWI).
Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak
terletak pada :
• penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang
yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977
BWI); azas ini tidak berlaku bagi benda tidak bergerak.
• penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus
dilakukan secara nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan
dengan balik nama ;

• kadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal
daluwarsa, sedangkan pada benda tidak bergerak terdapat kadaluwarsa :
1. dalam hal ada alas hak, daluwarsanya 20 tahun;
2. dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun

• pembebanannya (bezwaring), dimana untuk benda bergerak dengan
gadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik.

• dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah (penyitaan
untuk menuntut kembali barangnya),hanya dapat dilakukan terhadap
barang barang bergerak . Penyitaan untuk melaksanakan putusan
pengadilan (executoir beslah) harus dilakukan terlebih dahulu terhadap
barang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi untuk
pelunasan hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang
tidak bergerak.

c. Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis
    Pembedaan ini penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada
perjanjian yang obyeknya adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya
sulit untuk mengembalikan seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu
harus diganti dengan benda lain yang sama / sejenis serta senilai, misalnya
beras, kayu bakar, minyak tanah dlsb.
    Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang tidak dipakai habis tidaklah
terlalu sulit bila perjanjian dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada,dan
dapat diserahkan kembali, seperti pembatalan jual beli televisi, kendaraan
bermotor, perhiasan dlsb .

d. Benda sudah ada dan benda akan ada

    Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan
hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan
jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan
benda tersebut. Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan
perjanjian yang obyeknya benda akan ada bisa terancam batal bila
pemenuhannya itu tidak mungkin dapat dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .

e. Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan
    Arti penting dari pembedaan ini terletak pada pemindah tanganan benda
tersebut karena jual beli atau karena warisan.
Benda dalam perdagangan dapat diperjual belikan dengan bebas, atau
diwariskan kepada ahli waris,sedangkan benda luar perdagangan tidak dapat
diperjual belikan atau diwariskan, umpamanya tanah wakaf, narkotika, benda
benda yang melanggar ketertiban dan kesusilaan .

f. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi
    Letak pembedaannya menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi suatu
perjanjian, di mana terhadap benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan
perjanjian dapat dilakukan tidak sekaligus, dapat bertahap, misalnya
perjanjian memberikan satu ton gandum dapat dilakukan dalambeberapa kali
pengiriman, yang penting jumlah keseluruhannya harus satu ton. Lain halnya
dengan benda yang tidak dapat dibagi, maka pemenuhan prestasi tidak dapat
dilakukan sebagian demi sebagian, melainkan harus secara seutuhnya,
misalnya perjanjian sewa menyewa mobil, tidak bisa sekarang diserahkan
rodanya, besok baru joknya dlsb.

g. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar
    Arti penting pembeaannya terletak pada pembuktian kepemilikannya. Benda
terdaftar dibuktikan dengan bukti pendaftarannya, umumnya berupa
sertifikat/dokumen atas nama si pemilik, seperti tanah, kendaraan bermotor,
perusahaan, hak cipta, telpon, televisi dlsb.
Pemerintah lebih mudah melakukan kontrol atas benda terdaftar, baik dari
segi tertib administrasi kepemilikan maupun dari pembayaran pajaknya.
Benda tidak terdaftar sulit untuk mengetahui dengan pasti siapa pemilik yang
sah atas benda itu, karena berlaku azas ‘siapa yang menguasai benda itu
dianggap sebagai pemiliknya’. Contohnya, perhiasan, alat alat rumah tangga,
hewan piaraan, pakaian dlsb.

    Hak Kebendaan

Sifat / Karakter Hak kebendaan.

Perbedaan antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BWI dengan hak
perorangan yang diatur dalam Buku III BWI adalah sebagai berikut :
a. Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan
orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku
secara nisbi (relatief), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni
yang ada dalam suatu perjanjian saja.
b. Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau
bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hukum
perorangan berlangsung relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian
telah selesai dilakukan.
c. Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang
llainnya, sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat
dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hukum
kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.
Ciri ciri Hak Kebendaan adalah :
• mutlak / absolut
• mengikuti benda dimana hak itu melekat, misalnya hak sewa tetap
mengikuti benda itu berada, siapapun yang memiliki hak diatasnya
• hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih tua), kedudukannya lebih tinggi;
misalnya sebuah rumah dibebani hipotik 1 dan hipotik 2, maka penyelesaian
hutang atas hipotik 1 harus didahulukan dari hutang atas hipotik 2.

• memiliki sifat diutamakan, misalnya suatu rumah harus dijual untuk
melunasi hutang, maka hasil penjualannya lebih diutamakan untuk melunasi
hipotik atas rumah itu.
• dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang mengganggu hak yang
bersangkutan.
• pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun .

    Penggolongan Hak Kebendaan

Hak atas Kebendaan dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu :
a. Hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan .
Selain yang mengenai tanah, karena sudah diatur dalam UUPA, maka hak
kebendaan yang termasuk dalam kategori ini adalah ;
- Bezit ; Hak Milik (eigendom) ; Hak Memungut Hasil ; Hak Pakai ;
- Hak Mendiami
Hak atas tanah yang dengan berlakunya UUPA dinyatakan tidak berlaku lagi :
- Hak bezit atas tanah ; Hak eigendom atas tanah
- Hak servitut ; Hak opstal ; Hak erfpacht ; Hak bunga atas tanah
- Hak pakai atas tanah
Dengan berlakunya UUPA, pengganti dari hak atas tanah yang dihapus adalah :
- Hak Milik ; Hak Guna Usaha ; Hak Guna Bangunan ; Hak Pakai
- Hak Sewa untuk bangunan ; Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
- Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
- Hak guna ruang angkasa
- Hak hak tanah untuk kepentingan keagamaan dan social
b. Hak Kebendaan Yang bersifat Memberi Jaminan
• Hak Gadai (pandrechts)
• Hipotik
• Credietverband
• Privilege (piutang yang di istimewakan).
• Fiducia

    Perolehan Hak Kebendaan
Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :
a. Melaui Pengakuan
Benda yang tidak diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan
diakui oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya.
- 8 -
Contohnya, orang yang menangkap ikan, barang siapa yang mendapat ikan itu dan
kemudian mengaku sebagai pemiliknya, dialah pemilik ikan tersebut. Demikian
pula halnya dengan berburu dihutan, menggali harta karun dlsb.
b.Melalui Penemuan
Benda yang semula milik orang lain akan tetapi lepas dari penguasaannya, karena
misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang menemukan barang tersebut
dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi pemilik barang yang
diketemukannya .
Contoh ini adalah aplikasi hak bezit.
c.Melalui Penyerahan
Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui penyerahan
berdasarkan alas hak (rechts titel) tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, hibah
warisan dlsb
Dengan adanya penyerahan maka titel berpindah kepada siapa benda itu
diserahkan.
d.Dengan Daluwarsa
Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu
sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh
setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang
bersangkutan.
Untuk benda tidak bergerak, daluwarsanya adalah :
• jika ada alas hak, 20 tahun
• jika tidak ada alas hak, 30 tahun
e Melalui Pewarisan
Hak kebendaan bisa diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang
berlaku, bisa hukum adat, hukum Islam atau hukum barat.
f. Dengan Penciptaan
Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun
samasekali baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu.
Contohnya orang yang menciptakan patung dari sebatang kayu, menjadi pemilik
patung itu, demikian pula hak kebendaan tidak berwujud seperti hak paten, hak
cipta dan lain sabagainya.
g.Dengan cara ikutan / turunan
Seseorang yang membeli seekor sapi yang sedang bunting maka anak sapi yang
dilahirkan dari induknya itu menjadi miliknya juga. Demikian pula orang yang
membeli sebidang tanah, ternyata diatas tanah itu kemudian tumbuh pohon durian,
maka pohon durian itu termasuk milik orang yang membeli tanah tersebut.

    Hapusnya Hak Kebendaan

    Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :
a. Bendanya Lenyap / musnah
Karena musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap,
misalnya hak sewa atas sebuah rumah yang habis/musnah ketimbun longsoran
tanah gunung, menjadi musnah juga. Atau, hak gadai atas sebuah sepeda
motor, ikut habis apabila barang tersebut musnah karena kebakaran .
b. Karena dipindah-tangankan
Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang
bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.
c. Karena Pelepasan Hak
Dalam hal ini pada umumnya pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara
sengaja oleh yang memiliki hak tersebut, seperti radio yang rusak dibuang
ketempat sampah. Dalam hal ini maka halk kepemilikan menjadi hapus dan
bisa menjadi hak milik orang lain yang menemukan radio tersebut.
d. Karena Kadaluwarsa
Daluwarsa untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada
alas hak), sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun.
e. Karena Pencabutan Hak
Penguasa publik dapat mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda
tertentu, dengan memenuhi syarat :
• harus didasarkan suatu undang undang
• dilakukan untuk kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak )




BAB III
PENUTUP

    Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian bedasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.





Sumber:
http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpkn/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=32&Itemid=32