Rabu, 02 Mei 2012

(Tulisan 5) SEJARAH HUKUM DI INDONESIA

Universitas Gunadarma

Tulisan 5
Sejarah Hukum Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

    Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

    Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia hingga dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indië (Hindia Belanda) “telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat pribumi yang otohton. Sistem hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari ‘Papal Revolution’ hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19.
Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di masa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan – sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda. Di masa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk.
BAB II
PEMBAHASAN

    Tradisi hukum yang dipilih setelah kemerdekaan

    Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapatdapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial, yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional.

Keinginan membangun tata hukum yang lebih bercirikan Indonesia dengan segala atribut keasliannya memang merupakan harapan (das sollen). Oleh karena mewarisi sejumlah peraturan serta lembaga hukum dari masa kolonial sesungguhnya berarti mempertahankan cara-cara berpikir serta landasan bertindak yang berasal dari paham individualistis. Hal itu tentu saja tidak sejalan dengan alam pikiran masyarakat Indonesia yang berlandaskan paham kolektivistis. Dalam kaitan itu, Sunarjati Hartono, merekomendasikan beberapa hal dalam rangka pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
1.    Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang
2.     Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula
3.    Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukansecara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secarasubstansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat.Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.

    Hukum tertulis dianggap futuristik dan berkepastian

    Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum sebagaimana diterima dan dijalankan di negara-negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori hukum yang modern. Hukum modern memiliki ciri:
1.    bentuknya yang tertulis,
2.    berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan
3.    sebagai instrumen yang secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.

    Ketiga ciri hukum modern tersebut memang secara eksplisit melekat pada sistem hukum yang
berasal dari Eropa daratan yang diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh
karena itu, pertimbangan untuk memilih hukum yang bentuknya tertulis
dianggap lebih berorientasi ke masa depan. Kemudian masalah uniformitas
dalam keberlakuannya juga menjadi pertimbangan penting lainnya seiring
dengan cita-cita pendirian negara bangsa ini dalam bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu apabila pilihan dijatuhkan pada
hukum adat, dianggap akan menuai sejumlah masalah di kemudian hari,
karena keragaman hukum adat sebagai sistem hukum rakyat yang umumnya
tak terumus secara eksplisit. Di samping itu juga sistem hukum adat
keberlakuannya bersifat lokal yang beragam pada budaya yang berlain lainan.

    Keadaan yang digambarkan di atas, kalau ditengok jauh ke belakang,
sesungguhnya akibat kuatnya pengaruh konsep adatrechtpolitiek-nya Van
Vollenhoven yang sangat ironi dan memutarbalikkan fakta. Betapa tidak,
bahwa adatrechtpolitiek yang dimaksudkan untuk melestarikan hukum lokal
tetap di tangan rakyat setempat sebenarnya mengukuhkan kekuasaan
lembaga-lembaga yang diawasi oleh Belanda atas hukum adat. Bahwa hukum
adat adalah hasil karya penguasa Belanda terbukti dengan pembentukan
pengadilan adat oleh pemerintah kolonial dengan pemeriksaan keputusan
pengadilan adat oleh Landraad dengan pemberian keputusan persoalan adat
oleh hakim Landraad yang berkebangsaan Belanda. Di samping itu para
pejabat Belanda senantiasa hadir dalam sidang-sidang pengadilan adat, para
pakar Belanda dan Indonesia didikan guru-guru Belanda yang melakukan
penelitian adat secara besar-besaran yang laporannya ditulis dalam Bahasa
Belanda. Itu semua telah cukup membuktikan bahwa penelitian adat yang
telah dilakukan nyata-nyata telah melanggar asas utama teori hukum adat,
bahwa hukum adat itu hidup dalam tradisi lokal. Kini setelah ditulis, hukum
adat hidup dalam buku, oleh para hakim Belanda digunakan seolah-olah
buku-buku tersebut adalah kitab Undang-Undang.
Akibat keadaan tersebut, kemudian terjadi anggapan keliru dari orangorang
Indonesia yang berkedudukan tinggi yang beranggapan bahwa diri
mereka bebas dari adat, walaupun penggolongan hukumnya adalah
sebaliknya. Seringkali dalam pandangan mereka adat adalah hukum bagi
desa-desa yang terbelakang, bukan hukum pusat-pusat perkotaan tempat
mereka tinggal. Sedangkan bagi rakyat di desa-desa yang hukum adatnya
dianggap berlaku, tatkala pecah revolusi di beberapa tempat mereka
berprakarsa menghapuskan pengadilan adat.

sesungguhnya para penanggung jawab
pembangunan hukum di Indonesia di awal-awal kemerdekaan memang
dihadapkan pada kondisi yang amat sulit tentang bagaimana menciptakan
suatu sistem hukum untuk suatu bangsa yang telah bernegara, merdeka,
dengan semangat yang besar untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan.
Akan tetapi dalam kenyataannya terpilah-pilah dalam ihwal kesukuan,
kebudayaan, dan keagamaan yang tentu saja terpilah-pilah pula dlam ihwal
kebutuhan hukumnya. Sesungguhnya arah penyatuan bangsa dengan
menundukkan seluruh warga bangsa ke satu sistem hukum modern yang
berorientasi ke tradisi hukum Eropa yang sangat mendahulukan nilai
kepastian, bukannya tidak rasional.


Ciri-ciri serta
karakteristik hukum modern di abad ini harus terdiri atas: (a) uniform and
unvarying in their application; (b) transactional; (c) universalistic; (d)
hierarchical; (e) organized bureaucratically; (f) rational; (g) run by
professional; (h) lawyers replace general agents; (i) amandable; (j) political;
(k) legialative, judicial and executive are separate and distinct.

Kristalisasi dari ciri-ciri di atas, idealnya untuk suatu hukum nasional
yang modern dalam era globalisasi di samping mengandung “local
characteristic” seperti Ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam, dan
tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-kecenderungan
(international trends) yang diakui oleh masyarakat dunia yang beradab.24
Sebagai suatu negara bangsa yang merdeka, Indonesia yang berdaulat, serta
merupakan bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang beradab lainnya,
untuk menggunakan hukum adat yang bermuatan tradisi bangsa dengan
“local characteristic”-nya, sebenarnya juga tidak cukup memadai. Oleh
karena hukum adat sesungguhnya hanya relevan untuk menata kehidupan
penduduk pribumi di desa-desa dan kampung-kampung. Sedangkan dalam
rangka mengakomodasi berlangsungnya interaksi yang semakin kompleks
antar masyarakat bangsa-bangsa beradab dalam berbagai bentuknya, baik
kerjasama investasi maupun perniagaan yang berlangsung di pusat-pusat
perkotaan, maka untuk kepentingan tersebut diperlukan kaidah hukum yang lebih berkepastian dan berlaku untuk semua warga masyarakat tanpa
kecualinya.

BAB III
PENUTUP

Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif
masa lalu sebagai latar belakang. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial. Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat di samping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.
    Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu,
penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata
tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan.
Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya
sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh
rasa keadilan masyarakat (substantial justice). Akibatnya, penegakan
hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang
terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement).
Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum,
padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak
melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang
disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum
anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan
pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum
positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih
makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan
yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur
penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara
pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan,
maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan
keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.
_ Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan
apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi
ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses
pembelajarannya. Adalah conditio sine qua non terhadap mereka caloncalon
sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya
dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral
keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan
tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual.




Sumber:
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1B%20Asal-usul%20Landasan%20Hk%20Progresif.pdf

1 komentar: