Minggu, 29 April 2012

PERUSAHAAN YANG MELANGGAR ASPEK HUKUM DILIAT DARI ETIKA DAN MORAL

Universitas Gunadarma


Tulisan 3 (perusahaan yang melanggar hukum dilihat dari etika dan moral)



BAB I
PENDAHULUAN
    Latar Belakang
    Salah satu aspek yang sangat populer dan perlu mendapat perhatian dalam dunia bisnis ini adalah norma dan etika bisnis. Etika bisnis selain dapat menjamin kepercayaan dan loyalitas dari semua unsur yang berpengaruh pada perusahaan, juga sangat menentukan maju atau mundurnya perusahaan.
Etika, pada dasarnya adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar. Oleh karena itu, perilaku etika berperan melakukan ‘apa yang benar’ dan ‘baik’ untuk menentang apa yang ‘salah’ dan ‘buruk’. Etika bisnis sangat penting untuk mempertahankan loyalitas pemilik kepentingan dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalan perusahaan. Mengapa demikian? Karena semua keputusan perusahaan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pemilik kepentingan. Pemilik kepentingan adalah semua individu atau kelompok yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap keputusan perusahaan. Ada dua jenis pemilik kepentingan yang berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu pemilik kepentingan internal dan eksternal. Investor, karyawan, manajemen, dan pimpinan perusahaan merupakan pemilik kepentingan internal, sedangkan pelanggan, asosiasi dagang, kreditor, pemasok, pemerintah, masyarakat umum, kelompok khusus yang berkepentingan terhadap perusahaan merupakan pemilik kepentingan eksternal. Pihak-pihak ini sangat menentukan keputusan dan keberhasilan perusahaan. Yang termasuk kelompok pemilik kepentingan yang memengaruhi keputusan bisnis adalah:
(1) Para pengusaha/mitra usaha,
(2) Petani dan pemasok bahan baku,
(3) Organisasi pekerja,
(4) Pemerintah,
(5) Bank,
(6) Investor,
(7) Masyarakat umum,dan
(8) Pelanggan dan konsumen.
Selain kelompok-kelompok tersebut di atas, beberapa kelompok lain yang berperan dalam perusahaan adalah para pemilik kepentingan kunci (key stakeholders) seperti manajer, direktur, dan kelompok khusus.































BAB II
PEMBAHASAN


    Siapakah pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika dalam perusahaan?

         Pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu:
(1)    Manajemen Tidak bermoral.
Manajemen tidak bermoral didorong oleh kepentingan dirinya sendiri, demi keuntungan sendiri atau perusahaan. Kekuatan yang menggerakkan manajemen immoral adalah kerakusan/ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan personal. Manajemen tidak bermoral merupakan kutub yang berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji di bawah upah minimum atau perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta, dan sebagainya (Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, Entrepreneurship and The New Ventura Formation, 1996, hal. 21).

(2)    Manajemen Amoral.
Tujuan utama dari manajemen amoral adalah laba, akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar hukum atau norma etika. Yang terjadi pada manajemen amoral adalah bebas kendali dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan. Salah satu conoth dari manajemen amoral adalah penggunaan uji kejujuran detektor bagi calon karyawan.

(3)    Manajemen Bermoral
Manajemen bermoral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi manajer bermoral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika dalam perilaku.

Menurut pendapat Michael Josephson, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu:
(1) Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, terus-terang, tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan, tidak berbohong.
(2) Integritas, yaitu memegang prinsip, melakukan kegiatan yang terhormat, tulus hati, berani dan penuh pendirian/keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat, dan dapat dipercaya.
(3) Memeliharan janji, yaitu selalu menaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, tidak menginterpretasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalitas dengan dalih ketidakrelaan.
(4) Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara, tidak menggunakan atau memperlihatkan informasi rahasia, begitu juga dalam suatu konteks profesional, menjaga/melindungi kemampuan untuk membuat keputusan profesional yang bebas dan teliti, dan menghindari hal yang tidak pantas serta konflik kepentingan.
(5) Kewajaran/keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia mengakui kesalahan, memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaa, serta tidak bertindak melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau kemalangan orang lain.
(6) Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, berbaik hati, belas kasihan, tolong menolong, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang membahayakan orang lain.
(7) Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati martabat orang lain, kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi semua orang, bersopan santun, tidak merendahkan dan mempermalukan martabat orang lain.
(8) Warga negara yang bertanggung jawab, yaitu selalu mentaati hukum/aturan, penuh kesadaran sosial, dan menghormati proses demokrasi dalam mengambil keputusan.
(9) Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, baik dalam pertemuan pesonal maupun pertanggungjawaban profesional, tekun, dapat dipercaya/diandalkan, rajin penuh komitmen, melakukan semua tugas dengan kemampuan terbaik, dan mengembangkan serta mempertahankan tingkat kompetensi yang tinggi.
(10) Dapat dipertanggungjawabkan, yaitu memiliki dan menerima tanggung jawab atas keputusan dan konsekuensinya serta selalu memberi contoh.

    Stansar Etika dapat dipertahankan melalui:

(1) Ciptakan kepercayaan perusahaan. Kepercayaan perusahaan dalam menetapkan nilai-nilai perusahaan yang mendasari tanggung jawab etika bagi pemilik kepentingan.
(2) Kembangkan kode etik. Kode etik merupakan suatu catatan tentang standar tingkah laku dan prinsip-prinsip etika yang diharapkan perusahaan dari karyawan.
(3) Jalankan kode etik secara adil dan konsisten. Manajer harus mengambil tindakan apabila mereka melanggar etika. Bila karyawan mengetahui bahwa yang melanggar etika tidak dihukum, maka kode etik menjadi tidak berarti apa-apa.
(4) Lindungi hak perorangan. Akhir dari semua keputusan setiap etika sangat bergantung pada individu. Melindungi seseorang dengan kekuatan prinsip morl dan nilainya merupakan jaminan terbaik untuk menghindari untuk menghindari penyimpangan etika. Untuk membuat keputusan etika seseorang harus memiliki: (a) Komitmen etika, yaitu tekad seseorang untuk bertindak secara etis dan melakukan sesuatu yang benar; (b) Kesadaran etika, yaitu kemampuan kompetensi, yaitu kemampuan untuk menggunakan suara pikiran moral dan mengembangkan strategi pemecahan masalah secara praktis.
(5) Adakan pelatihan etika. Workshop merupakan alat untuk meningkatkan kesadaran para karyawan.
(6) Lakukan audit etika secara periodik. Audit merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi efektivitas sistem etika. Hasil evaluasi tersebut akan memberikan suatu sinyal kepada karyawan bahwa etika bukan sekadar gurauan.
(7) Pertahankan standar tinggi tentang tingkah laku, tidak hanya aturan. Tidak ada seorang pun yang dapat mengatur norma dan etika. Akan tetapi, manajer bisa saja membolehkan orang untuk mengetahui tingkat penampilan yang mereka harapkan. Standar tingkah laku sangat penting untuk menekankan betapa pentingnya etika dalam organisasi. Setiap karyawan harus mengetahui bahwa etika tidak bisa dinegosiasi atau ditawar.
(8) Hindari contoh etika yang tercela setiap saat dan etika diawali dari atasan. Atasan harus memberi contoh dan menaruh kepercayaan kepada bawahannya.
(9) Ciptakan budaya yang menekankan komunikasi dua arah. Komunikasi dua arah sangat penting, yaitu untuk menginformasikan barang dan jasa yang kita hasilkan dan menerima aspirasi untuk perbaikan perusahaan.
(10) Libatkan karyawan dalam mempertahankan standar etika. Para karyawan diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik tentang bagaimana standar etika dipertahankan.

    Selain etika, yang tidak kalah pentingnya adalah pertanggungjawaban sosial perusahaan. Eika sangat berpengaruh terhadap tingkah laku individual. Tanggung jawab sosial mencoba menjembatani komitmen individu dan kelompok dalam suatu lingkungan sosial, seperti pelanggan, perusahaan lain, karyawan, dan investor. Tanggung jawab sosial menyeimbangkan komitmen-komitmen yang berbeda. Menurut Zimmerer, ada beberapa macam pertanggungjawaban perusahaan, yaitu:

(1)    Tanggung jawab terhadap lingkungan. Perusahaan harus ramah lingkungan, artinya perusahaan harus memerhatikan, melestarikan, dan menjaga lingkungan, misalnya tidak membuang limbah yang mencemari lingkungan, berusaha mendaur ulang limbah yang merusak lingkungan, dan menjalin komunikasi dengan kelompok masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya.

(2) Tanggung jawab terhadap karyawan. Semua aktivitas manajemen sumber daya manusia seperti peneriman karyawan baru, pengupahan, pelatihan, promosi, dan kompensasi merupakan tanggung jawaab perusahaan terhadap karyawan. Tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan dapat dilakukan dengan cara:
(a) Mendengarkan dan menghormati pendapat karyawan.
(b) Meminta input kepada karyawan.
(c) Memberikan umpan balik positif maupun negatif.
(d) Selalu menekankan tentang kepercayaan kepada karyawan.
(e) Membiarkan karyawan mengetahui apa yang sebenarnya mereka harapkan.
(f) Memberikan imbalan kepada karyawan yang bekerja dengan baik.
(g) Memberi kepercayaan kepada karyawan.

(3) Tanggung jawab terhadap pelanggan. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan menurut Ronald J. Ebert (2000:88) ada dua kategori, yaitu (1) Menyediakan barang dan jasa yang berkualitas; dan (2) Memberikan harga produk dan jasa yang adil dan wajar. Tanggung jawab sosial perusahaan juga termasuk melindungi hak-hak pelanggan. Menurutnya, ada empat hak pelanggan, yaitu:
(a) Hak mendapatkan produk yang aman.
(b) Hak mendapatkan informasi segala aspek produk.
(c) Hak untuk didengar.
(d) Hak memilih apa yang akan dibeli.
Sedangkan menurut Zimmerer (1996), hak-hak pelanggan yang harus dilindungi meliputi:
(a) Hak keamanan. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan harus berkualitas dan memberikan rasa aman, demikian juga kemasannya.
(b) Hak mengetahui. Konsumen berhak untuk mengetahui barang dan jasa yang mereka beli, termasuk perusahaan yang menghasilkan barang tersebut.
(c) Hak untuk didengar. Komunikasi dua arah harus dibentuk, yaitu untuk menyalurkan keluhan produk dan jasa dari konsumen dan untuk menyampaikan berbagai informasi barang dan jasa dari perusahaan.
(d) Hak atas pendidikan. Pelanggan berhak atas pendidikan, misalnya pendidikan tentang bagaimana menggunakan dan memelihara produk. Perusahaan harus menyediakan program pendidikan agar pelanggan memperoleh informasi barang dan jasa yang akan dibelinya.
(e) Hak untuk memilih. Hal terpenting dalam persaingan adalah memberikan hak untuk memilih barang dan jasa yang mereka perlukan. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tidak mengganggu persaingan dan mengabaikan undang-undang antimonopoli (antitrust).

(4)    Tanggung jawab terhadap investor. Tanggung jawab perusahaan terhadap investor adalah menyediakan pengembalian investasi yang menarik, seperti memaksimumkan laba. Selain itu, perusahaan juga bertanggung jawab untuk melaporkan kinerja keuangan kepada investor seakurat mungkin.

    Faktor-faktor pebisnis melakukan pelanggaran etika bisnis
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pebisnis dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Salah satu hal tersebut adalah untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan dampak buruk yang terjadi selanjutnya. Faktor lain yang membuat pebisnis melakukan pelanggaran antara lain :
1.    Banyaknya kompetitor baru dengan produk mereka yang lebih menarik
2.    Ingin menambah pangsa pasar
3.    Ingin menguasai pasar.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor pertama adalah faktor yang memiliki pengaruh paling kuat. Untuk mempertahankan produk perusahaan tetap menjadi yang utama, dibuatlah iklan dengan sindiran-sindiran pada produk lain. Iklan dibuat hanya untuk mengunggulkann produk sendiri, tanpa ada keunggulan dari produk tersebut. Iklan hanya bertujuan untuk menjelek-jelekkan produk iklan lain.
Selain ketiga faktor tersebut, masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Gwynn Nettler dalam bukunya Lying, Cheating and Stealing memberikan kesimpulan tentang sebab-sebab seseorang berbuat curang, yaitu :
1.    Orang yang sering mengalami kegagalan cenderung sering melakukan kecurangan.
2.    Orang yang tidak disukai atau tidak menyukai dirinya sendiri cenderung menjadi pendusta.
3.     Orang yang hanya menuruti kata hatinya, bingung dan tidak dapat menangguhkan keinginan memuaskan hatinya, cenderung berbuat curang.
4.    Orang yang memiliki hati nurani (mempunyai rasa takut, prihatin dan rasa tersiksa) akan lebih mempunyai rasa melawan terhadap godaan untuk berbuat curang.
5.    Orang yang cerdas (intelligent) cenderung menjadi lebih jujur dari pada orang yang dungu (ignorant).
6.    Orang yang berkedudukan menengah atau tinggi cenderung menjadi lebih jujur.
7.    Kesempatan yang mudah untuk berbuat curang atau mencuri, akan mendorong orang melakukannya.
8.    Masing-masing individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dan karena itu menempati tingkat yang berbeda, sehingga mudah tergerak untuk berbohong, berlaku curang atau menjadi pencuri.
9.    Kehendak berbohong, main curang dan mencuri akan meningkat apabila orang mendapat tekanan yang besar untuk mencapai tujuan yang dirasakannya sangat penting.
10.    Perjuangan untuk menyelamatkan nyawa mendorong untuk berlaku tidak jujur.

BAB III
PENUTUP


    Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa loyalitas pemilik kepentingan sangat tergantung pada kepuasan yang mereka peroleh.. Oleh karena loyalitas dapat mendorong deferensiasi, maka loyalitas pemilik kepentingan akan menjadi hambatan bagi para pesaing.” Ingat bahwa diferensiasi merupakan bagian dari strategi generik untuk memenangkan persaingan .

Selain etika dan perilaku, yang tidak kalah penting dalam bisnis adalah norma etika. Ada tiga tingkatan norma etika, yaitu:

(1)    Hukum,
berlaku bagi masyarakat secara umum yang mengatur perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Hukum hanya mengatur standar perilaku minimum.
(2)    Kebijakan dan prosedur organisasi,
memberi arahan khusus bagi setiap orang dalam organisasi dalam mengambil keputusan sehari-hari. Para karyawan akan bekerja sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan/organisasi.
(3)    Moral sikap mental individual,
sangat penting untuk menghadapi suatu keputusan yang tidak diatur oleh aturan formal. Nilai moral dan sikap mental individual biasanya berasal dari keluarga, agama, dan sekolah. Sebagaiman lain yang menentukan etika perilaku adalah pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Kebijakan dan aturan perusahaan sangat penting terutama untuk membantu, mengurangi, dan mempertinggi pemahaman tentang etika perilaku.





    Saran

    Hal yang terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang berorientasi pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya selalu berusaha berada dalam kerangka etis, yaitu tidak merugikan siapapun secara moral. Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
1.    Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal
2.    Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja
3.    Akan melindungi prinsip kebebasan berniaga
4.    Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
    Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, ataupun larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
    Memang benar. kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-rang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan atau manipulasi. Tetapi sebenarnya, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.
    Dalam bisnis, sebagaiman kehidupan, memutuskan apa yang benar dan yang salah dalam situasi tertentu tidaklah suatu pilihan yang mudah untuk dilakukan. Bisnis memiliki tanggung jawab yang besar kepada pelanggan, karyawan, investor, dan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang konflik muncul dalam usaha melayani berbagai kebutuhan dari beragam pihak. Dalam kasus-kasus lain, konflik bisa muncul antara keputusan yang ideal dengan keputusan praktis dalam situasi tertentu.
Ada 4 kekuatan utama yang membentuk etika bisnis dan tanggung jawab sosial, yaitu:
-    kekuatan individual,
-    oraganisasional,
-    masyarakat, dan
-    hukum.

    Setiap kekuatan ini tidak beroperasi dalam ruang hampa, tapi masing-masing berinteraksi dengan ketiga kekuatan lainnya, dan interaksi ini mempunyai pengaruh yang kuat baik terhadap kekuatan maupun arah dari masing-masing pengaruh.


Sumber:
http://fe.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=1
http://alviyana.student.fkip.uns.ac.id/2012/01/03/makalah-etika-bisnis-apakah-kegiatan-berbisnis-di-indonesia-sesuai-dengan-etika-bisnis/

ASPEK TULISAN HALAL DALAM SEGI HUKUM EKONOMI

Tulisan 1
Universitas Gunadarma
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
        Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas (± 88%) penduduknya beragama Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produksi pangan segar asal hewan khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pengaturan jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan memerlukan pengkajian terlebih dahulu, antara lain analisis kandungan unsur haram dan najis, pemingsanan, pemotongan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran melalui pengendalian titik kritis, sehingga dapat diketahui proses pemotongan, penanganan, distribusinya sampai ke tangan konsumen.
        Mengingat pentingnya masalahan kehalalan karkas, daging dan jeroan, maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, menyatakan bahwa label pangan memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal. Dalam Pasal 58 diatur mengenai sanksi yang diberikan dengan ancaman pidana maksimal 3 (tiga) tahun penjara dan/atau denda Rp 360 juta, apabila terbukti memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan tersebut sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu.
        Disamping itu, menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Demikian juga dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, terdapat 3 (tiga) pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal yaitu dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 10 dan Pasal 11. Ketentuan mengenai halal juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 924/MENKES/SKVII/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82.MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yaitu dalam Pasal 8, Pasal 10 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 11 ayat (1) dan (2).
        Selain itu dalam kaitannya dengan penyelenggaraan karantina hewan menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan diamanatkan pada Pasal 8 bahwa dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan penyakit hewan atau hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan, pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 serta dipertegas kembali pada Pasal 5 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap produk asal hewan khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun tidak secara spesifik mengatur tentang persyaratan kehalalannya.
        Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, juga mengatur mengenai kehalalan yaitu dalam Pasal 58, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan , pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal. Dalam pasal tersebut juga diatur bahwa produk hewan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.
        Dalam upaya menerapkan sistem jaminan kehalalan terhadap pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke Indonesia, maka perlu adanya pengaturan dari aspek pengawasan kehalalan di tempat-tempat pemasukan dalam wilayah kerja UPT Karatina Pertanian. Oleh sebab itu perlu disadari bahwa aspek-aspek kehalalan karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dari luar negeri tidak semuanya dapat dideteksi sekalipun dengan pemeriksaan dan pengujian secara laboratoris, sehingga diperlukan adanya dokumen jaminan atas kehalalan karkas, daging dan jeroan tersebut dalam bentuk sertifikasi halal demi terwujudnya jaminan kehalalan bagi pangan segar asal hewan yang akan dikonsumsi masyarakat Indonesia. Secara operasional Sistem Jaminan Halal dirancang, diimplementasikan dan dijaga oleh pihak produsen dengan tujuan menjaga kelangsungan status halal dari proses maupun manajemen produksi.
        Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasi- kan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi yang senantiasa dijiwai dan didasari pada konsep-konsep syariat dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan SJH.
        Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini. Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen yang kuat untuk memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada 3 zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun unsur haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan ketidakhalalan produk, dan tidak menimbulkan risiko dengan penerapannya.

        Oleh karena itu, perlu ada komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran. Sistem Jaminan Halal dalam penerapannya harus diuraikan secara tertulis dalam bentuk Manual Halal yang meliputi lima aspek:
a.    Pernyataan kebijakan perusahaan tentang halal (Halal Policy)
b.    Panduan Halal (Halal Guidelines)
c.    Sistem Organisasi Halal
d.    Uraian titik kendali kritis keharaman produk
e.    Sistem audit halal internal.
        Manual halal harus dibuat secara terperinci disesuaikan dengan kondisi masing-masing perusahaan agar dapat dilaksanakan dengan baik. Manual halal merupakan sistem yang mengikat seluruh elemen perusahaan. Dengan demikian harus disosialisasikan pada seluruh karyawan di lingkungan perusahaan. Secara teknis manual halal dijabarkan dalam bentuk prosedur pelaksanaan baku (Standard Operating Prosedure / SOP) untuk tiap bidang yang terlibat dalam produksi secara halal.
        Pada saat pihak perusahaan mengajukan sertifikat halal ke lembaga sertifikasi, telah disepakati bahwa perusahaan diwajibkan untuk menunjuk salah seorang karyawannya untuk bertugas menjadi Auditor Halal Internal. Tugas dan tanggung jawab seorang auditor internal terhadap kehalalan produk, selain bertanggung jawab ke lembaga sertifikasi, juga bertanggung jawab secara organisatoris kepada atasan di perusahaan.

        Dalam melakukan pengawasan terhadap proses pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah RI, maka petugas karantina perlu diberikan pemahaman dan kewenangan dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan tersebut. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi petunjuk pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan kehalalan karkas, daging dan jeroan di tempat-tempat pemasukan oleh petugas karantina.

1.2.    Maksud dan Tujuan
        Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan jeroan dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi petugas karantina hewan dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan dokumen sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
        Tujuan dari Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan jeroan adalah meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dokumen sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan yang dimasukkan dari luar negeri pada tempat-tempat pemasukan di Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPT KP) lingkup Badan Karantina Pertanian.
1.3.    Dasar Hukum
1.    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482)
2.    Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Eshtablishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
3.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
4.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
5.    5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
6.    6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
7.    7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);
8.    8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);
9.    . Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Giji Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);
10.    10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri;



1.5 Definisi dan singkatan
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1.    Analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis adalah gambaran suatu proses analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis yang dilakukan oleh suatu tim pada setiap tahapan proses sampai ke tangan konsumen, dengan mempertimbangkan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan, cara pencegahan masuk dan tercemarnya karkas, daging dan/atau jeroan dengan bahan atau unsur haram pada proses produksi sampai dengan pengemasan serta transportasinya.
2.     Proses produksi halal adalah rangkaian kegiatan memproduksi karkas, daging dan/atau jeroan pada suatu Rumah Potong Hewan (RPH) atau Perusahaan Pemrosesan dan Pengolahan yang menjamin kepastian kehalalannya sampai ke tangan konsumen.
3.    Sistem Jaminan Halal yang selanjutnya disebut SJH adalah kepastian hukum bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut halal untuk diolah sebagai makanan, dipakai atau digunakan sesuai dengan syariah Islam yang dibuktikan dengan sertifikat halal dan dinyatakan dengan label/logo halal pada kemasan.
4.    Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan, yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung.
5.    Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang secara langsung berhubungan dengan media pembawa atau secara tidak langsung melalui kemasan media pembawa.
6.    Tanda-tanda kemasan dan alat angkut adalah setiap keterangan mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas, daging, dan/atau jeroan yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, dituliskan pada atau merupakan bagian dari kemasan dan alat angkut.
7.    Tanda/Logo Halal adalah tanda khusus dalam bentuk tulisan atau gambar tertentu pada kemasan produk, pada bagian tertentu atau tempat tertentu dengan atau tanpa mencantumkan nomor sertifikat halal yang menjadi bukti sah kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
8.    Sertifikat Halal adalah keterangan tertulis yang memberikan kepastian kehalalan suatu produk dari suatu lembaga sertifikasi halal yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia.
9.    Lembaga Sertifikasi Halal adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian aspek kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
10.    Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut MUI adalah wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan muslim yang berfungsi untuk menetapkan fatwa tentang kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan menurut syariah Islam.
11.    Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, atau distribusi dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan.
12.    Negara asal pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan, yang selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
13.    Karkas ruminansia adalah bagian dari ternak ruminansia yang didapatkan dengan cara disembelih secara halal dan benar, dikuliti, dikeluarkan darahnya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain melalui pendinginan yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga lazim dan layak dikonsumsi oleh manusia.
14.    Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang telah disembelih secara halal, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki atau cekernya.
15.    Daging adalah bagian dari karkas yang didapatkan dari ternak yang disembelih secara halal (kecuali babi) dan benar serta lazim, layak dan aman dikonsumsi manusia, yang terdiri dari potongan daging bertulang atau daging tanpa tulang lainnya, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, termasuk daging variasi dan daging olahan.
16.    Jeroan (edible offal) adalah bagian dari dalam tubuh hewan yang berasal dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar serta dapat, layak, dan aman dikonsumsi oleh manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan.
17.    Rekomendasi pemasukan adalah persyaratan-persyaratan teknis yang direkomendasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan dan badan hukum sebagai bahan pertimbangan teknis dalam pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
18.    Persetujuan Pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri lain atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
19.    Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan karantina dan bahan berbahaya lainnya.
20.    Pengawasan kehalalan adalah upaya untuk memeriksa dan memastikan pemenuhan persyaratan teknis tentang sitem jaminan kehalalan bagi karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri yang diperuntukkan untuk konsumsi manusia di wilayah negara Republik Indonesia.
21.    Tindakan Koreksi adalah kegiatan sebagai upaya pencegahan pemasukan dan peredaran produk pangan segar asal hewan yang mengandung bahan berbahaya dan dapat mengganggu ketentraman bathin masyarakat ke dalam wilayah Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
    Karkas, daging, dan/atau jeroan adalah produk pangan asal hewan yang masih segar dan atau yang dapat diolah lebih lanjut untuk keperluan konsumsi (pangan). Berkaitan dengan kehalalan produk pangan asal hewan tersebut, maka pengaturan terhadap pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia harus dipersyaratkan dari segi kehalalannnya, sehingga objek pengawasan kehalalan adalah memastikan bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut memiliki dokumen penerapan sistem jaminan halal, tidak mengandung unsur haram dan diproses sesuai syariat Islam.
2.1 Dokumen Kehalalan
    Objek pengawasan kehalalan pada proses produksi karkas, daging dan/atau jeroan hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan dokumen kehalalan mulai dari awal produksi sampai pengangkutan ke negara tujuan. Beberapa dokumen kehalalan tersebut antara lain:
1. Sertifikat Halal dari lembaga sertifikasi halal luar negeri yang diakui oleh MUI yang menyatakan bahwa pemotongan hewan sampai proses pengemasan dilakukan berdasarkan syariat Islam
2. Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut
a. Label pada kemasan
b. Segel dan Nomor Segel Kontainer
c. Nomor Kontainer
d. Nomor Pengapalan (Shipping Mark)
Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut tersebut diatas, harus tertuang dalam sertifikat kesehatan (sanitasi) dan/atau sertifikat kehalalan untuk setiap kontainer atau setiap pengapalan.
2.2. Pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan
    Jenis karkas, daging, dan/atau jeroan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia adalah sesuai dengan yang tertera dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu dalam melakukan pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan harus memenuhi pesyaratan-persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam permentan tersebut. Dengan demikian persyaratan teknis pengemasan penyimpanan dan pengangkutan karkas, daging dan/atau jeroan merupakan objek pengawasan bagi petugas karantina di tempat pemasukan.
























BAB III
ISI
    Upaya untuk menghasilkan produk pangan asal hewan tidak terlepas dari adanya tahapan atau proses-proses yang dilakukan/dilalui untuk menghasilkannya. Tahapan atau proses itu sangat berpengaruh dalam menentukan halal atau tidaknya produk pangan asal hewan tersebut. Karkas, daging dan/atau jeroan adalah jenis pangan segar asal hewan yang dapat bersifat halal atau haram, sehingga dalam upaya untuk memenuhi persyaratan kehalalan pada karkas, daging dan/atau jeroan tersebut, tahapan atau proses yang dilalui untuk menghasilkannya harus berasal dari hewan yang halal, disembelih dan diproses sesuai syariat Islam serta dalam proses produksi, pengemasan dan pengangkutannya tidak mengandung, terkontaminasi dan tercampur dengan produk pangan asal hewan yang diragukan kehalalannya.

    Persyaratan kehalalan adalah persyaratan yang ditetapkan berdasarkan pada hukum syariah Islam dan persyaratan tersebut harus dipenuhi, apabila suatu unit usaha akan memulai suatu proses produksi dan menerapkan sistem jaminan produk halal yang telah disusun untuk tujuan konsumsi di negara-negara muslim. Program persyaratan halal dalam operasionalisasinya meliputi program sanitasi yang diperlukan dalam rangka mencegah terjadinya kontaminasi bahaya yang menyebabkan tidak halalnya produk pangan dan program cara berproduksi yang baik dan halal.
    Dokumen kehalalan
    Merupakan dokumen yang menjadi bukti penerapan sistem jaminan halal mulai dari praproduksi sampai pasca produksi, yang meliputi:
•    Jadwal atau waktu pemotongan halal untuk produk yang ditetapkan dan tertuang dalam dokumen kehalalan.
•    Tempat pemotongan yang dibuat sedemikian rupa sehingga hewan dapat dipotong secara halal (menghadap kiblat)
•    Pemotong memahami dan memenuhi syarat sebagai juru potong halal
•    Pemingsanan harus dipastikan tidak menyebabkan hewan sampai mati sebelum disembelih
•    Proses pengeluaran darah telah sempurna sebelum diproses lebih lanjut.

    Persyaratan pengemasan penyimpanan dan pengangkutan
    Untuk menjamin tidak terjadinya kontaminasi antara produk halal dengan yang tidak halal dalam pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan, maka dipersyaratkan:
•    Dalam pengemasan produk halal tidak boleh dikemas dalam satu kemasan (bercampur dengan produk yang tidak halal)
•    Apabila didalam satu kontainer terdapat beberapa kemasan yang berbeda waktu produksi halalnya maka setiap waktu produksi tersebut harus mempunyai sertifikat halal masing-masing.
•    Setiap kemasan yang diberi tanda/logo halal untuk memudahkan identifikasi, bentuk, ukuran dan warna besar tanda/logo halal tersebut sesuai yang telah disepakati antara MUI dengan lembaga sertifikasi halal oleh negara asal /pengekspor , seperti dalam lampiran.
•    Dalam penyimpanan dan pengangkutan tidak mencampurkan kemasan yang halal dengan yang tidak halal.
•    Bahwa bukti tidak adanya pencampuran dituangkan melalui pencantuman nomor kontainer atau nomor segel kontainer di dalam sertifikat kehalalan.






BAB VI
PENUTUP

    Masalah kehalalan karkas daging dan jeroan yang diedarkan dan dipasarkan di Indonesia khususnya yang berasal dari luar negeri merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Secara internal pemerintah perlu menerapkan aturan-aturan yang dapat menjamin kehalalan produk yang diimpor, melalui sebuah pedoman umum yang baku.
    Pedoman pengawasan halal ini cukup penting sebagai landasan bagi petugas karantina dalam melakukan pengawasan di tempat pemasukan, sehingga pemasukan daging yang diragukan kehalalannya ataupun yang tidak disertai dokumen kehalalan dapat dikurangi.

    Dengan pedoman ini pihak pemerintah bersama dengan lembaga non pemerintah yang terlibat dalam regulasi dan pengawasan halal dapat bekerja sama dan berkoordinasi lebih baik, sehingga masyarakat mendapat kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produk impor khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Sumber:
http://karantina.deptan.go.id/inkehati/index.php?link=hayat1

REKOMENDASI TULISAN HALAL DARI ASPEK EKONOMI


Tulisan 2
BAB 1
PENDAHULUAN

    Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, sangatlah ironis, bila harus mengimpor makanan halal dari Negara lain, terlebih dari Negara non Muslim. Di sisi lain, permintaan pasar global terhadap produk dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan trend yang terus meningkat. Untuk dapat meraih peluang pasar, maka pengetahuan tentang kebutuhan konsumen merupakan barometer yang sangat berharga. Penelitian Perilaku Konsumen Masyarakat Muslim terhadap Konsumsi Makanan Halal merupakan penelitian awal dari serangkaian penelitian tentang Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global yang direncanakan akan dilakukan pada lima tahun ke depan. Penelitian ini tidak hanya penting untuk memberikan masukan atas kebijakan dalam penetapan sertifi kasi produk halal, tetapi juga merupakan pengembangan ilmu khususnya ekonomi Islam dan psikologi Islam.

    Label makanan dicap halal jika isi makanan sesuai dengan aturan makanan Muslim. Sebuah sertifikasi halal analog dengan sertifikasi halal, dalam hal ini diberikan oleh lembaga sertifikasi pihak ketiga, tetapi makanan halal belum tentu halal, dan makanan halal tidak selalu halal. Bagi umat Islam yang prihatin mematuhi Syariah, atau hukum Islam, label halal bertindak sebagai jaminan bahwa isi dari makanan tidak haram.
   
    Di negara-negara berbahasa Arab, kata tersebut digunakan untuk merujuk secara umum untuk apa saja yang diperbolehkan oleh aturan Islam, sebagaimana firman dalam bahasa Arab berarti "halal" atau "diijinkan." Di seluruh dunia, ini berlaku terutama makanan. Sebagian besar negara memiliki undang-undang pelabelan makanan untuk melindungi sertifikasi halal dan halal, untuk memastikan bahwa label makanan yang akurat.
Menurut hukum Islam, Muslim dilarang makan daging babi, darah, darat karnivora, omnivora, bangkai, dan minuman keras. Larangan terhadap daging babi adalah salah satu aspek paling sulit dari diet Muslim, karena masuknya produk samping daging babi dalam banyak makanan. Sebuah daftar panjang bahan mungkin menyembunyikan produk daging babi yang diturunkan, jadi Muslim yang taat melihat label halal. Selain itu, ada pembatasan pada makanan laut; banyak Muslim percaya bahwa ikan hanya dengan timbangan halal, tidak termasuk kerang dan krustasea sebagai haram.

    Fitur yang membedakan penting dari daging halal adalah bahwa hewan harus disembelih atas nama Allah. Setiap Muslim bisa menyembelih binatang untuk makanan, selama ia menyembelih binatang dengan cepat memutuskan arteri utama leher, dan mengucapkan nama Allah sebagai hewan dibunuh. Hewan disembelih dengan cara lain itu haram, seperti juga binatang yang disembelih atas nama Dewa palsu, atau hewan yang tidak didedikasikan untuk dewa pun ketika mereka dibantai.
   
    Di negara-negara muslim, mencari makanan halal relatif mudah, karena toko dan restoran sering dijalankan oleh umat Islam yang taat syariah. Di luar negara-negara Muslim, bagaimanapun, mengikuti Syariah bisa sangat sulit, terutama dengan makanan olahan. Beberapa organisasi Muslim telah menerbitkan daftar bahan yang mengandung daging babi, dan perusahaan yang membuat makanan yang aman untuk dimakan.













BAB II
PEMBAHASAN

Isu Produk halal pada makanan dan minuman yang beredar di masyarakat bukanlah hal baru dalam upaya pengakomodasian kepentingan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya.
Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.

Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak dibidang pengolahan produk makanan dan minuman atau diistilahkan secara umum sebagai pangan. Pangan (makanan dan minuman) yang halal, dan baik merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya supaya dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Demi ketentraman dan kenyamanan konsumen pelaku usaha wajib menampilkan labelisasi halal yang sah dikeluarkan oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Dengan menampilkan labelisasi halal pada pangan yang ditawarkan ke konsumen ini menjadikan peluang pasar yang  baik sangat terbuka luas dan menjanjikan.

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO.[4] Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut label/tanda halal pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar yang memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.
Menurut paham Futurolog kelahiran Amerika bernama John Naisbit, pada era global seperti sekarang ini segala sesuatunya serba teknologis, terutama dalam persoalan-persoalan gaya hidup, sehingga ia menyebutnya sebagai “global lifestyle”. Pada era ini, budaya yang mengalami perkembangan dengan sangat dahsyat adalah makanan, pakaian dan hiburan, atau ia menyebutnya dengan 3 F yakni food, fashion dan fun. Dengan demikian pada era globalisasi ini, industri pangan Indonesia harus dapat meningkatkan daya saing produk pangan yang dihasilkannya melalui jaminan pangan halal dan baik. Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik, bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia berbahaya. Halal berkaitan dengan jaminan kehalalan yang ditunjukkan dengan adanya sertifikat halal dari LPPOM MUI.

Disamping jaminan pangan baik, pemberian jaminan halal akan meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia terhadap produk-produk impor yang tidak mendapatkan sertifikat halal. Hukum halal pangan bagi umat Islam sebetulnya tidak hanya merupakan doktrin agama saja tetapi terbukti secara ilmiah adalah baik, sehat dan dapat diterima akal (Scientifically sound), jadi pangan baik dan halal, bermanfaat dan baik untuk semua umat manusia. Mengkonsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu mendapatkan pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim. Halal berarti lepas atau tidak terikat. Makanan yang halal adalah yang diijinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan. Pangan yang baik di sini dapat diartikan sama dengan pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik.

Respons positif terhadap kepentingan sertifikasi dan pencantuman tanda halal pada pangan dan produk lainnya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan setingkat Keputusan Menteri Agama secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik yang berkaitan dengan sertifikasi dan pencantuman tanda halal, oleh karena itu pengaturan demikian belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal, semua undang-undang tersebut mensyaratkan agar pelaku usaha memproduksi produk yang halal, tetapi keterangan yang menentukan kehalalan, pihak yang berwenang menerbitkan label halal, dan keseragaman logo label halal pada produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia tidak jelas diberlakukan.

Peraturan tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu di dalam Bab IV tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1. Di dalam Pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa. Ayat tersebut secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan tetapi sayangnya pengertian ini dimentahkan oleh penjelasan dari ayat tersebut yang menguraikan bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam, jadi pencantuman keterangan halal pada label pangan bukan merupakan suatu kewajiban untuk semua produsen pangan.

Aturan tentang label dan iklan pangan kemudian diperinci di dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pada Pasal 3 ayat 2, persyaratan minimal keterangan yang harus tercantum dalam label tidak lagi mencantumkan keterangan halal sebagai salah satu persyaratan sebagaimana yang tercantum pada UU Pangan Pasal 30 ayat 2. Di dalam Peraturan Pemerintah ini aturan tentang label halal termaktub di dalam Pasal 10 dan Pasal 11.
•    Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
•    Sedangkan Pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat-ayat tersebut mempertegas penjelasan dari UU Pangan Pasal 30 ayat 2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.














BAB III
PENUTUP

Menurut Direktur LPPOM MUI, Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, konsumen Indonesia sudah memperhatikan label halal. Ini terbukti label halal mempengaruhi penjualan produk makanan. Isu lemak babi pada tahun 1988, menyebabkan anjloknya omset penjualan beberapa produsen pangan. Isu adanya pencampuran daging sapi dengan daging celeng, menyebabkan anjloknya omset penjualan para penjual daging dan hasil olahannya. Isu baso tikus, ikan dan ayam berpormalin, menyebabkan turunnya omset penjualan. Labelisasi halal merupakan perijinan pemasangan logo halal pada kemasan produk pangan oleh Badan POM yang didasarkan pada sertifikasi halal yang dikeluarkan komisi fatwa MUI. Sertifikat berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Industri pangan yang akan mengajukan sertifikasi halal disyaratkan telah menyusun dan mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal. Pengaturan secara hukum mengenai labelisasi halal ini mencerminkan bahwa persoalan ini dianggap bukan persoalan penting bagi pemerintah. Upaya mengharmonisasikan dan merinci atau bahkan membentuk aturan yang lebih jelas dan terarah merupakan hal utama yang harus menjadi prioritas karena ini termasuk kedalam permasalahan kemaslahatan umat, khususnya umat Islam.



Sumber:
http://www.mediasriwijaya.com/2012/04/label-halal-antara-syariah-politik-dan.html
http://makanandanminumanhalal.blogspot.com/2012/02/apa-arti-label-makanan-dan-minuman.html


UU PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT BAHAN BAHAN MAKANAN

universitas gunadarma


Tugas 6
PERLINDUNGAN KONSUMEN
TENTANG BAHAN YANG TERKANDUNG DALAM PRODUK MAKANAN

    Perlindungan konsumen terhadap makanan dan minuman yang belum terdaftar di Dinas Kesehatan sekarang ini belum sepenuhnya terwujud. Padahal makanan dan minuman sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh. Permasalahannya apakah disebabkan oleh peraturannya, aparat yang berwenang menangani pendaftaran makanan dan minuman, atau produsen (pelaku usaha). Kewajiban pendaftaran makanan dan minuman jelas tercantum dalam Permenkes Nomor 382 Tahun 1989, tetapi sedikit produsen (pelaku usaha) yang mendaftarkan hasil produksinya yaitu makanan dan minuman.
    Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai mutu dan keamanan pangan menyebabkan maraknya kasus keracunan makanan serta pelanggaran hak-hak konsumen, hal tersebut juga diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan (BTM) yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya. Praktek-praktek yang salah telah menyebabkan seringnya bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan untuk makanan seperti formalin, boraks, pewarna tekstil dan lain-lain dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan pada saat proses pembuatan tanpa memperhatikan takaran atau ambang batas serta bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia tersebut kepada konsumen.
    Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan.
    Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang dikonsumsinya, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman. Hal ini juga menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan dilain pihak konsumen juga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga konsumen mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah.
    Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh informasi konsumen seringkali beranggapan bahwa makanan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. Bagi golongan ekonomi rendah akan memilih harga yang murah karena golongan ini lebih menitikberatkan pada harga terjangkau daripada pertimbangan lainnya.
    Penanggulangan agar makanan yang aman tersedia secara memadai, perlu diwujudkan suatu sistem makanan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsi makanan tersebut sehingga makanan yang diedarkan tidak menimbulkan kerugian serta aman bagi kesehatan.
    Keadaan yang menimbulkan kerugian tersebut sering kali menyudutkan konsumen tersebut, mengakibatkan timbulnya sengketa atau permasalahan antara konsumen dan pelaku usaha, untuk melakukan penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :

a. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum

    Sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa perdata, masuknya suatu perkara ke pengadilan harus melalui beberapa prosedur yang didahului dengan pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan :
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”

    Konsumen yang dirugikan haknya tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi konsumen dapat juga menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengketa administrasi didalamnya. Hal ini dapat terjadi jika dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

    Maraknya kegiatan bisnis tidak dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antara pihak yang bersengketa, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin meminimalisasi birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga lebih cepat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmonisasi sosial (social harmony) dengan mengembangkan perdamaian, musyawarah dan budaya nonkonfrontatif akan tetapi tetap mempunyai kekuatan hukum sama seperti pengadilan biasa, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yaitu apabila perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta, dimana kedua belah pihak yang bersengketa harus mentaati perjanjian yang dibuat dalam akta tersebut.

    Masalah mengenai pelanggaran perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha ini, dapat juga dikenakan sanksi administratif apabila pelaku usaha tidak memenuhi seluruh kewajibannya kepada konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1.    Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
2.    Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3.    Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.”

    Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1.    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
2.    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3.    Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

    Permasalahan tersebut tidak akan terjadi apabila antara produsen dan konsumen memiliki kesadaran bahwa hubungan yang dilakukannya mempunyai ketergantungan yang sangat erat dan saling membutuhkan, sehingga produsen tidak akan melakukan perbuatan membahayakan kepentingan konsumen dengan mencampurkan bahan-bahan kimia berbahaya kedalam makanan pada saat proses pembuatan melebihi ambang batas dengan tujuan agar biaya produksi lebih murah, tampilan lebih menarik dan apapun itu tujuannya tanpa memikirkan akibat terhadap produsen. Konsumen juga tidak harus selalu mengedepankan harga tanpa memperdulikan mutu atau kualitas barang, sehingga mengorbankan kesehatannya serta lebih teliti terhadap barang dan/atau jasa yang banyak beredar di masyarakat.




Sumber:
1.    http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/perlindungan-konsumen-terhadap-produk-makanan-dan-minuman-kemasan-yang-belum-terdaftar-studi-di-dinas-kesehatan-kota-malang-linda-septian-38795.html
2.    http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/532/jbptunikompp-gdl-rinianggra-26585-6-unikom_r-v.pdf





RENCANA KENAIKAN BBM DILIHAT DARI UU PERLINDUNGAN KONSUMEN



Tugas 5
RENCANA KENAIKAN BBM
DILIHAT DARI UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

    Jakarta Upaya penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM terus diupayakan berbagai pihak. Salah satunya adalah upaya dari Serikat Pengacara Rakyat (SPR) yang akan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi.
    "Sebagai organisasi yang punya komitmen turut memperjuangkan kesejahteraan rakyat, SPR akan menempuh upaya hukum demi membatalkan kenaikan harga BBM tersebut. Upaya hukum yang paling tepat adalah dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," ujar Juru Bicara, Habiburokhman, dalam rilis yang diterima redaksi, Selasa (27/3/2012).
    Habiburokhman menjelaskan, kenaikan harga BBM harus didahului dengan perubahan pada pasal 7 ayat (6) UU APBN yang menerangkan 'Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan'. Jika pasal 7 ayat (6) tersebut diubah, maka UU yang baru tersebut akan diuji materi di Mahkamah Konstitusi untuk kemudian dibatalkan.
    "Kami berharap agar MK bisa bersikap arif dan melihat secara jelas bahwa kenaikan BBM benar-benar sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi dan menghambat hak konstitusi rakyat untuk hidup sejahtera," jelas Habiburokhman.
    Menurut Habiburokhman, perubahan pasal 7 ayat (6) UU APBN yang memungkinkan dinaikkannnya harga BBM di tahun 2012 jelas melanggar pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak' dan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 'setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan'.

"Program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang diklaim sebagai bentuk pengalihan subsidi menurut kami sangat tidak tepat," tandasnya.

Jika dicermati, keputusan untuk menaikkan harga BBM sebetulnya bukan hanya terkait dengan membengkaknya defisit APBN sehingga berpotensi melewati ambang batas 3 persen sebagaimana yang digariskan undang-undang. Hakekat persoalannya bukan itu. Tapi, beban subsidi yang sejatinya telah menguras APBN sehingga berdampak pada terbatasnya anggaran yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, mendanai program-program pengentasan kemiskinan (jaring-jaring pengaman sosial/social safety nets), subsidi kesehatan dan pendidikan, serta program-program pemerintah yang berpihak pada kalangan tak mampu lainnya.
    Yang menikmati subsidi BBM sejatinya adalah penduduk perkotaan, bukan penduduk perdesaan. Padahal, data BPS menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin terdapat di daerah perdesaan. Pada September 2011 lalu, misalnya, BPS melaporkan bahwa dari 29,89 juta penduduk miskin, sebanyak 63,4 persen di antaranya tinggal di daerah perdesaan. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka berasal dari rumah tangga yang tidak memiliki kendaraan bermotor: sepeda motor, apalagi mobil.
    Karenanya, dalam perspektif jangka panjang, harga BBM harus dinaikkan. Bahkan, subsidi BBM sejatinya harus dicabut. Jika negeri ini tidak ingin dipusingkan dengan harga BBM, satu-satunya solusi adalah meninggalkan BBM dan beralih ke sumber energi lain, misalnya, listrik, air, gas, dan batu bara. Jika demikian, konsekwensinya harus ada program terkait pengembangan sumber energi alternatif. Namun, persoalannya kemudian, bagaimana membiaya program-program itu jika dana yang tersedia sangat terbatas karena sebagian besarnya habis digunakan untuk membiayayai subsidi BBM?
Sejatinya untuk rakyat
    Alasan yang selalu disampaikan oleh mereka yang menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM adalah soal dampaknya yang akan memicu inflasi dan memukul telak daya beli masyarakat kecil. Jumlah penduduk miskin dikhawatirkan akan melonjak dan kondisi kemiskinan yang terjadi bakal semakin parah dan dalam. Semua itu memang keniscayaan yang tidak bisa dimungkiri jika harga BBM jadi dinaikkan. Tapi, bukan berarti Pemerintah tinggal diam. Terkait perlindungan terhadap daya beli masyarakat kecil yang terkena dampak, misalnya, pemerintah telah menyiapkan dana kompensasi sebesar Rp25 triliun yang akan diberikan kepada sekitar 18,5 juta rumah tangga miskin dan hampir miskin melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) jika harga BBM jadi dinaikkan.
    Selain itu, terkait dampak inflasi yang terjadi, sebetulnya bakal lebih dirasakan oleh penduduk perkotaan, bukan penduduk perdesaan. Karena sejatinya, inflasi merepresentasikan perkembangan harga-harga barang dan jasa di daerah perkotaan, bukan di daerah perdesaan. Para petani dan nelayan yang dalam menjalankan kegiatan usahanya memakai BBM memang akan terkena dampak langsung jika harga BBM jadi dinaikkan. Namun sekali lagi, pemerintah tidak tinggal diam. Langkah protektif terkait hal ini telah disiapkan.
    Sekilas, Pemerintah memang terkesan mendzolimi mereka–rakyat kecil–jika menaikkan harga BBM. Tetapi, sejatinya tidaklah demikian. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebetulnya juga untuk rakyat. Dengan menaikkan harga BBM (mengurangi subsidi), ada banyak dana yang bisa dianggarkan pemerintah untuk membiayayai program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunanan infrastruktur untuk menunjung berbagai aktivitas ekonomi yang pada akhirnya dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi, menigkatkan penciptaan  lapangan kerja, dan menigkatkan daya beli penduduk. Dana yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan juga dapat ditingkatkan, begitu pula dengan subsidi kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian, tingkat kapabilitas penduduk dapat ditingkatkan secara berarti.
    Kunci untuk memacu IPM adalah mendongkrak skor komponen-komponen penyusun IPM itu sendiri: tingkat pendikan dan kesehatan serta kemampuan daya beli. Lantas, bagaimana caranya negeri ini bisa memacu skor IPM-nya? Jika sebagian besar dana APBN justru digunakan untuk membiayayai subsidi BBM yang kenyataannya tidak tepat sasaran itu, ketimbang membiayayai pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan dan kesehatan, serta berbagai program yang bertalian langsung dengan peningkatan kapabilitas dan kemampuan daya beli penduduk lainnya.
    Jika mencermati perkembangan harga minyak mentah dunia belakangan ini, dengan disahkannya pasal 7 ayat 6a, harga BBM hampir dipastikan bakal tetap naik dalam beberapa bulan ke depan. Karenanya, keputusan yang dihasilkan melalui ‘drama’ sidang paripurna yang berlangsung alot itu sejatinya adalah penundaan terhadap rencana kenaikan harga BBM. Dengan lain perkataan, tinggal menunggu waktu, harga BBM dipastikan bakal tetap naik dalam beberapa bulan ke depan. Semoga kita bisa memakluminya. (*)
Sumber:
http://news.detik.com/read/2012/03/28/030104/1878360/10/rencana-kenaikan-harga-bbm-dibawa-ke-mk
http://hukum.kompasiana.com


Kamis, 26 April 2012

KENAIKAN BBM DARI SUDUT EKONOMI


KENAIKAN BBM DARI SUDUT EKONOMI 

Duduk permasalahan terkait rencana kenaikan harga BBM ini sudah cukup jelas, yaitu terus meningkatnya harga minyak internasional. Asumsi harga minyak pada UU APBN 2012 adalah USD 90/barel, sementara harga WTI crude oil per 27 Maret kemarin sudah melonjak hingga sekitar USD 107/barel. Hal ini berdampak pada peningkatan beban untuk subsidi pada fostur APBN, yang menurut pemerintah, dapat meningkatkan defisit anggaran sebesar 1% dari 2.2% menjadi 3.2%. Tentunya hal ini akan berdampak pada peningkatan dana tambahan untuk menambal defisit tersebut, yang pastinya akan dibiayai oleh utang. Terkait kenaikan harga minyak dunia tersebut, pada pembahasan APBN-P 2012 pemerintah juga hendak menaikkan asumsi harga minyak menjadi USD 105/barel. Tidak ada perdebatan terkait ada tidaknya masalah atau perlu tidaknya kenaikan harga minyak dunia tersebut dipandang sebagai masalah atau tidak. Semua sepakat dalam memandang kenaikan harga minyak yang beresiko meningkatkan defisit anggaran sebagai suatu masalah. Perdebatan terletak pada bagaimana menangani masalah tersebut. Peningkatan Harga BBM Benar dan Perlu untuk Menyelamatkan Perekonomian Nasional Dalam keterangan pers terkait penyesuaian APBN-P dan harga BBM, Presiden SBY menjelaskan cara pandang pemerintah yang memandang masalah sehatnya APBN sangat penting bagi pengelolaan perekonomian nasional, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, beliau mengajak agar masalah penyehatan APBN jangan hanya dipandang sebagai penyelamatan fiskal semata, melainkah lebih luas dari itu. Intinya, tersirat bahwa penting kiranya menyelamatkan APBN dari potensi pembengkakan defisit, karena secara tidak langsung hal tersebut sama saja dengan menyelamatkan perekonomian nasional. Presiden bicara soal konsep besarnya, untuk informasi yang lebih spesifik, kita perlu menelisik argumen pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, soal perlunya menaikkan harga BBM. Harga minyak dunia memiliki dampak dua arah bagi Indonesia, yaitu peningkatan beban subsidi, dan peningkatan penerimaan karena Indonesia juga menjual minyak ke luar negeri. Namun jika tidak dilakukan peningkatan harga BBM maka net subsidi, dalam konteks BBM dan minyak saja (tidak termasuk TDL dan gas), maka peningkatan beban subsidi akan lebih besar dari pada peningkatan penerimaannya. Sementara jika dilakukan kenaikan harga BBM, maka peningkatan penerimaan akan lebih besar dari pada peningkatan beban subsidinya, yaitu sekitar Rp 30 T, sehingga dapat digunakan untuk membiayai program kompensasi khususnya BSLM. Dengan kata lain, APBN akan menjadi lebih sehat. Kalau menggunakan cara pandangnya presiden, maka perekonomian nasional akan lebih sehat. Selain untuk menyelamatkan APBN, Kementerian Keuangan juga memaparkan beberapa alasan lain, antara lain lonjakan konsumsi yang telah mencapai 47.8 juta kiloliter per Januari-Februari 2012, yang telah melampaui patokan pemerintah sebesar 40 juta kiloliter, yang mayoritas dikonsumsi oleh kalangan mampu. Menurut Kemenkeu, murahnya BBM juga ditengarai mengakibatkan banyaknya penimbunan dan penyelundupan. Jika dilihat dari sisi lingkungan pun, tentunya peningkatan harga BBM akan bersifat pro-environment, mengingat tingkat oktan BBM premium yang lebih rendah daripada Pertamax atau Pertamax plus. Sehingga, jika BBM premium jauh lebih murah dari pertamax, akan jauh lebih banyak orang yang akan mengkonsumsi premium, yang notabene tidak baik bagi lingkungan. Dari semua argumen di atas, dapat disimpulkan bahwa meningkatkan harga BBM adalah hal yang benar dan perlu dilakukan. Tidak begitu banyak argumen khusus yang dirumuskan oleh kelompok kontra. Inti dari argumennya adalah bahwa kenaikan harga BBM akan menyakiti masyarakat lemah karena kenaikan harga BBM tersebut akan diikuti oleh kenaikan harga barang lainnya. Selain itu, program kompensasi BSLM yang disiapkan pemerintah dipandang tidak mendidik mental bangsa, sarat penyelewengan, dan sarat kesalahan mencakup inclusion dan exclusion error, yang pada pengalaman lalu menyebabkan gejolak sosial yang terjadi di tidak sedikit daerah. Bukan hanya adu mulut, baku hantam pun terjadi karena amuk dari massa yang merasa seharusnya menerima BLT namun tidak menerima, atau merasa tidak bisa menerima ketidakadilan karena yang seharusnya tidak lagi pantas menerima BLT malah menerima BLT. Salah satu contoh ekstrem terjadi di daerah Sepatan, Provinsi Banten, di mana terjadi pembacokan, bahkan pembakaran kantor balai desa dan rumah kepala RW. Salah satu kepala RT yang menjadi narasumber juga mengaku bahwa dirinya harus pindah rumah karena tidak tahan dengan teror masyarakat. Setelah empat tahun, yaitu tahun ini, baru ia kembali ke rumahnya semula. Beberapa pihak juga memandang bahwa kenaikan harga BBM ini merupakan akal-akalan pemerintah agar dapat menyalurkan BSLM yang bermuatan politis, khususnya terkait semakin dekatnya pemilu presiden pada 2014 nanti. Adapun berita teranyar, ICW melaporkan adanya indikasi mark-up pada besaran subsidi BBM yang dipublikasikan pemerintah. Tapi tulisan ini tidak akan mengulas soal sahih tidaknya perhitungan ICA tersebut. Di sini hanya akan disimpulkan bahwa, secara pendek kata, kalangan kontra memandang rencana kenaikan BBM adalah hal yang tidak benar untuk dilakukan karena masih banyak cara lain yang dengan kreatifitas dapat dilakukan untuk menyelamatkan anggaran. Selain itu, program BSLM sebagai kompensasi sangat riskan akan penyimpangan, kesalahan, dan tidak mendidik mental bangsa untuk mandiri. Pemerintah Harus Menelaah Lebih Dalam Salah satu pihak yang mengambil posisi ini adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengingatkan pemerintah akan resiko ledakan penduduk miskin dalam dua tahun ke depan. LIPI mengingatkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia pernah melonjak menjadi 16% saat harga BBM dinaikkan pada 2005, walau pada saat itu pemerintah telah menggelontorkan bantuan langsung tunai guna mereda efeknya. Hal lain yang mungkin belum terlalu dibahas oleh media adalah nasib para kalangan menengah bawah. BSLM hanya akan diberikan pada sekitar 18.5 juta rumah tangga yang merupakan 30% penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah, dan hanya untuk 6 bulan. Apakah ada jaminan bahwa pada bulan ke-7 dan selanjutnya mereka sudah akan berhasil meningkatkan pendapatan sehingga daya beli mereka tidak kembali turun manakala kompensasi berhenti? Bagaimana dengan mereka-mereka yang berada di desil 40% dan/atau 50%? Mereka adalah kalangan yang tidak terdata sebagai kalangan yang layak mendapatkan kompensasi, kecil kemungkinan pula dapat meningkatkan pendapatannya, namun harus berhadapan dengan peningkatan harga BBM yang signifikan, yaitu sekitar 30%, juga peningkatan harga tularan pada produk/jasa lainnya. Tidakkah ada cukup besar kemungkinan kalangan tersebut akan jatuh miskin? Kiranya kekhawatiran yang dilontarkan oleh LIPI adalah wajar adanya. Pemerintah lantang mengungkapkan betapa subsidi BBM telah dinikmati oleh kalangan mampu sehingga tidak tepat sasaran. Benar, jika kita hanya membatasi pandangan kita pada dampak langsung saja. Pertimbangan lain yang juga dinilai kurang mengudara adalah terkait dengan tepat tidaknya waktu pelaksanaan dari kenaikan harga tersebut, terlepas dari baik atau tidaknya kebijakan untuk menaikkan harga BBM tersebut. Dipetik dari liputan wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Bambang P.S Brodjonegoro, terkait maraknya aksi demonstrasi di ibukota dan nusantara, Pak Bambang menjawab bahwa masyarakat kiranya juga harus mengerti secara gamblang mengenai kondisi postur anggaran negara. Salah satu suara yang menarik adalah yang berbunyi bahwa terlepas dari baik atau tidaknya keputusan untuk menaikkan harga BBM, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan masak-masak mengenai waktu pelaksanaan dari kebijakan tersebut? Beberapa kalangan memandang bahwa pemerintah belum mengukir prestasi yang luar biasa, dalam artian, belum cukup luar biasa untuk mengkompensasi rasa curiga atau tidak percaya masyarakat terhadap pemerintah kita yang masih dalam masa terapi untuk menghilangkan budaya korupsi. Belum cukup luar biasa untuk membuat masyarakat, secara umum, merasa dipikirkan dan dilayani oleh negara. Belum cukup luar biasa pula untuk membuat masyarakat merasa bahwa pemerintah mengerti terhadap kondisi dan kebutuhan rakyatnya. Ruang ini tidak ada ukurannya memang. Sehingga kita tidak dapat buktikan secara pasti apakah masyarakat kebanyakan memang benar-benar merasa seperti itu atau tidak. Melainkan, hal tersebut lebih kepada apa yang dirasakan berdasarkan apa yang dilihat, dengar, dan diskusikan sehari-hari di tengah masyarakat sekitar kita. 


Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/29/kenaikan-harga-bbm-hal-tepat-di-waktu-yang-salah/

Sabtu, 21 April 2012

PANDANGAN HUKUM DI INDONESIA

universitas gunadarma


Tugas 3
SUBYEK DAN OBTEK HUKUM DI INDONESIA

Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.

1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.

2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.


Jenis obyek hukum :
1.  Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
a.    Benda bergerak/tidak tetap
b.    Benda tiak bergerak

2.    Benda yang bersift kebendaan (Immateriekegoderen)
Hak kebendaan yang besifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) :
hak jaminan yang melekat pada kreditur yamg memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi(perjanjian).

Macam-macam pelunasan hutang :
1. Jaminan Umum :
a. Benda tersebut bersifat ekonimis(dapat dinilai dengan uang).
b. Benda terdebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
2. Jaminan Khusus :
a. Gadai :
Hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang.

b. Hipotik :
Suatu hak kebendaan atas benda tidak begerak untuk mrngambil penggantian dari
padanya bagi pelunasan suatu perhutangan.

c. Hak tanggungan :
hak jaminan atas tanah yag dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang dan memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhapap kreditur-kreditur
lain.

d. Fodusia :
Suatu perjanjian acesor antara debitor dan kreditor yang isinya penyerahan hak
milik secara kepercayaan atau benda bergerak milik debitot kepada kreditur.


Sumber:
http://belajarhukumindonesia.blogspot.com/2010/03/subyek-hukum-dan-obyek-hukum.html
http://google.com

Kamis, 19 April 2012

SUBYEK DAN OBYEK HUKUM DI INDONESIA



 universitas gunadarma

(tugas 2)
SUBYEK DAN OBTEK HUKUM DI INDONESIA

Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.

1. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.

2. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.


Jenis obyek hukum :
1. Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
a. Benda bergerak/tidak tetap
b. Benda tiak bergerak

2. Benda yang bersift kebendaan (Immateriekegoderen)
Hak kebendaan yang besifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) :
hak jaminan yang melekat pada kreditur yamg memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi(perjanjian).

Macam-macam pelunasan hutang :
1. Jaminan Umum :
a. Benda tersebut bersifat ekonimis(dapat dinilai dengan uang).
b. Benda terdebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
2. Jaminan Khusus :
a. Gadai :
Hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang.

b. Hipotik :
Suatu hak kebendaan atas benda tidak begerak untuk mrngambil penggantian dari
padanya bagi pelunasan suatu perhutangan.

c. Hak tanggungan :
hak jaminan atas tanah yag dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
suatu satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang dan memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhapap kreditur-kreditur
lain.

d. Fodusia :
Suatu perjanjian acesor antara debitor dan kreditor yang isinya penyerahan hak
milik secara kepercayaan atau benda bergerak milik debitot kepada kreditur.


Sumber:
http://belajarhukumindonesia.blogspot.com/2010/03/subyek-hukum-dan-obyek-hukum.html
http://google.com

KAIDAH DAN NORMA HUKUM DI INDONESIA


 universitas gunadarma

KAIDAH DAN NORMA HUKUM DI INDONESIA

Manusia, Masyarakat dan Ketertiban

Manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok. Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya - bahaya itu.

Dalam hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia. Interaksi yang kalian lakukan pasti ada kepentingannya, sehingga bertemulah dua atau lebih kepentingan. Pertemuan kepentingan tersebut disebut “kontak“. Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua macam kontak, yaitu :
1. Kontak yang menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentinganyang bertemu saling memenuhi. Misalnya, penjual bertemu dengan pembeli.
2. Kontak yang tidak menyenangkan, yaitu jika kepentingan - kepentingan yang bertemu bersaingan atau berlawanan. Misalnya, pelamar yang bertemu dengan pelamar yang lain, pemilik barang bertemu dengan pencuri.

Mengingat banyaknya kepentingan, terlebih kepentingan antar pribadi, tidak mustahil terjadi konflik antar sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Agar kepentingan pribadi tidak terganggu dan setiap orang merasa merasa aman, maka setiap bentuk gangguan terhadap kepentingan harus dicegah. Manusia selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan tertib, aman, dan damai, yang menjamin kelangsungan hidupnya.

Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula manusia adalah mahluk sosial. Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen “man is a social and politcal being” artinya manusia itu adalah makhluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat sebagai makhluk sosial itu selalu berorganisasi.

Kehidupan dalam kebersamaan(ko-eksistensi)berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masing - masing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial yang mewujudkan jaringan relasi - relasi sosial (a web of social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.

Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain - lainan karena norma - norma yang mendukung masing - masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.

Pengertian Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat dan Peraturan

Setiap individu dalam kehidupan sehari - hari melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi sosial mereka juga senantiasa didasari oleh adat dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lain sebagainya. Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing - masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing - masing. Tata itu lazim disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau norma (berasal dari bahasa Latin) atau ukuran - ukuran.

Norma - norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud : perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat - akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat - akibatnya dipandang tidak baik. Ada bermacam - macam norma yang berlaku di masyarakat. Macam - macam norma yang telah dikenal luas ada empat, yaitu:
 Norma Agama
Peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah - perintah, larangan - larangan dan ajaran - ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh norma agama ini diantaranya ialah:
1. “Kamu dilarang membunuh”.
2. “Kamu dilarang mencuri”.
3. “Kamu harus patuh kepada orang tua”.
4. “Kamu harus beribadah”.
5. “Kamu jangan menipu”.

 Norma Kesusilaan
Peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh norma ini diantaranya ialah :
1. “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
2. “Kamu harus berlaku jujur”.
3. “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”.
4. “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”.

 Norma Kesopanan
Norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing - masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini diantaranya ialah :
1. “Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain - lain, terutama wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”.
2. “Jangan makan sambil berbicara”.
3. “Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
4. “Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.

Kebiasaan merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat yang dilakukan berulang - ulang mengenai sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup. Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat istiadat.

Adat istiadat adalah kebiasaan - kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat
.
 Norma Hukum
Peraturan - peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat - alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundang - undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan - peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah :
1. “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setinggi - tingginya 15 tahun”.
2. “Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian”, misalnya jual beli.
3. “Dilarang mengganggu ketertiban umum”.
Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang - undangan. Perundang - undangan baik yang sifatnya nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh lembaga formal yang diberi kewenangan untuk membuatnys. Oleh karena itu, norma hukum sangat mengikat bagi warga negara.

Hubungan Antar-Norma
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh norma - norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah - kaidah lainnya. Kaidah - kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah - kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal - hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang sama.
Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”, “penipuan”, dan lain - lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing - masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan perundang - undangan.
Hakikat dan Arti Penting Hukum Bagi Warga Negara
Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah - perintah dan larangan - larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa. Untuk lebih memudahkan batasan pengertian hukum, perlu kalian ketahui unsur - unsur dan ciri - ciri hukum, yaitu :'
• Unsur - unsur hukum di antaranya ialah :
1. Peraturan mengenai tingkah laku dalam pergaulan masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan - badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu pada umumnya bersifat memaksa, dan
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
• Ciri - ciri hukum yaitu :
1. Adanya perintah dan/atau larangan
2. Perintah dan/atau larangan itu harus ditaati setiap orang.
• Tujuan Hukum. Secara umum tujuan hukum dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.
2. Untuk menjaga kepentingan tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu.
3. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hukum dalam pergaulanantar manusia dalam masyarakat. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat - bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal. Dengan demikian, tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya kepastian dan ketertiban. Selain itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Namun, keadilan itu sering dipahami secara berbeda - beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Pembagian Hukum
Hukum menurut bentuknya dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tak tertulis. Hukum Tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Sedangkan Hukum Tak Tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan dalam masyarakat tetapi tidak tertulis (disebut hukum kebiasaan). Apabila dilihat menurut isinya, hukum dapat dibagi dalam Hukum Privat dan Hukum Publik. Hukum Privat (Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan - hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan, misal Hukum Perdata. Adapun Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat - alat perlengkapan atau hubungan antara Negara dengan perseorangan (warga negara).
• Hukum Publik
1. Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintahan suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat - alat perlengkapannya satu sama lain, dan hubungan antara Negara (Pemerintah Pusat) dengan bagian - bagian negara (daerah - daerah swantantra).
2. Hukum Administrasi Negara Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Tata Pemerintahan), yaitu hukum yang mengatur cara - cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat - alat perlengkapan negara.
3. Hukum Pidana (Pidana = hukuman), yaitu hukum yang mengatur perbuatanperbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara - cara mengajukan perkara - perkara ke muka pengadilan.
4. Hukum Internasional, yang terdiri dari Hukum Perdata Internasional dan Hukum Publik Internasional. Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga negarawarga negara sesuatu bangsa dengan warga negara - warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional.
• Hukum Publik Internasional (Hukum Antara Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara - negara yang lain dalam hubungan internasional.

Arti Penting Hukum Bagi Warga Negara
Menurut Pasal 26 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi :
1. Yang menjadi warga negara ialah orang - orang bangsa Indonesia asli dan orang - orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang Undang sebagai warganegara.
2. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
3. Hal - hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang - undang.
Yang dimaksud dengan undang - undang dalam Pasal 26 ayat 3 tersebut di atas adalah UU.RI No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang - undangan”. Orang tersebut harus tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia serta memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia dimana pun orang tersebut tinggal. Seorang yang hanya menjadi penduduk memiliki ikatan karena dia tinggal di tempat tersebut. Orang tersebut memiliki hak dan kewajiban terkait dengan tinggalnya di tempat tersebut. Hak tersebut, misalnya hak untuk mendapatkan perlindungan, tetapi dia tidak berhak untuk memilih dan dipilih ditempat tinggalnya itu karena dia bukan warga negara.
Kewajibannya sebagai penduduk juga terbatas, misalnya wajib melaporkan diri dan wajib membayar pajak tertentu saja. Hak dan kewajiban sebagai penduduk berakhir pada saat penduduk tersebut pindah tempat tinggal ke daerah lain atau negara lain. Misalnya, Habiburrahman adalah Warga Negara Indonesia, yang tinggal di Mesir. Oleh karena itu Habiburrahman memiliki hak dan kewajibansebagai penduduk Mesir. Hal tersebut akan berakhir, jika kemudian ia berpindah ke Singapura.
Hak dan kewajiban sebagai penduduk berakhir bersamaan dengan pindahnya seseorang ke tempat tinggal lain. Akan tetapi hak dan kewajiban sebagai warga negara selalu ada dan melekat sepanjang tetap sebagai warga negara. Artinya hak dan kewajiban Habiburrahman sebagai warga negara Indonesia tetap ada dan melekat sepanjang dia masih menjadi WNI, meskipun dia tinggal di Mesir, Singapura, atau tempat lainya.
Warga negara Indonesia adalah orang - orang bangsa Indonesia asli atau orang asing yang disahkan menjadi warga negara berdasarkan ketentuan undangundang. Yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Orang asing dapat memperoleh status kewarganegaraan setelah memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan undang - undang. Orang asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia (naturalisasi) harus mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjadi warga negara Indonesia dan memenuhi syarat tertentu. Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah ;
2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negar Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut - turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut - turut ;
3. Sehat jasmani dan rohani ;
4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ;
5. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun lebih ;
6. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda ;
7. Mempunyai pekerjaan dan / atau berpenghasilan tetap ; dan
8. Membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.
Status sebagai warga negara Indonesia juga dapat hilang karena berbagai hal, diantaranya adalah memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauan sendiri, masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari presiden. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Hal itu sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sumber:
http://www.crayonpedia.org/mw/Norma-Norma_yang_Berlaku_dalam_kehidupan_Bermasyarakat,_Berbangsa_dan_Bernegara_7.1