Minggu, 29 April 2012

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT BAHAN BAHAN MAKANAN

universitas gunadarma


Tugas 6
PERLINDUNGAN KONSUMEN
TENTANG BAHAN YANG TERKANDUNG DALAM PRODUK MAKANAN

    Perlindungan konsumen terhadap makanan dan minuman yang belum terdaftar di Dinas Kesehatan sekarang ini belum sepenuhnya terwujud. Padahal makanan dan minuman sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh. Permasalahannya apakah disebabkan oleh peraturannya, aparat yang berwenang menangani pendaftaran makanan dan minuman, atau produsen (pelaku usaha). Kewajiban pendaftaran makanan dan minuman jelas tercantum dalam Permenkes Nomor 382 Tahun 1989, tetapi sedikit produsen (pelaku usaha) yang mendaftarkan hasil produksinya yaitu makanan dan minuman.
    Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai mutu dan keamanan pangan menyebabkan maraknya kasus keracunan makanan serta pelanggaran hak-hak konsumen, hal tersebut juga diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan (BTM) yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya. Praktek-praktek yang salah telah menyebabkan seringnya bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan untuk makanan seperti formalin, boraks, pewarna tekstil dan lain-lain dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan pada saat proses pembuatan tanpa memperhatikan takaran atau ambang batas serta bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia tersebut kepada konsumen.
    Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dan kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan.
    Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, konsumen pada umumnya belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang dikonsumsinya, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman. Hal ini juga menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan dilain pihak konsumen juga memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga konsumen mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk makanan tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah.
    Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam memperoleh informasi konsumen seringkali beranggapan bahwa makanan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. Bagi golongan ekonomi rendah akan memilih harga yang murah karena golongan ini lebih menitikberatkan pada harga terjangkau daripada pertimbangan lainnya.
    Penanggulangan agar makanan yang aman tersedia secara memadai, perlu diwujudkan suatu sistem makanan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsi makanan tersebut sehingga makanan yang diedarkan tidak menimbulkan kerugian serta aman bagi kesehatan.
    Keadaan yang menimbulkan kerugian tersebut sering kali menyudutkan konsumen tersebut, mengakibatkan timbulnya sengketa atau permasalahan antara konsumen dan pelaku usaha, untuk melakukan penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :

a. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum

    Sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa perdata, masuknya suatu perkara ke pengadilan harus melalui beberapa prosedur yang didahului dengan pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan :
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”

    Konsumen yang dirugikan haknya tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi konsumen dapat juga menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengketa administrasi didalamnya. Hal ini dapat terjadi jika dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual.

b. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

    Maraknya kegiatan bisnis tidak dapat dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antara pihak yang bersengketa, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin meminimalisasi birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga lebih cepat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmonisasi sosial (social harmony) dengan mengembangkan perdamaian, musyawarah dan budaya nonkonfrontatif akan tetapi tetap mempunyai kekuatan hukum sama seperti pengadilan biasa, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yaitu apabila perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta, dimana kedua belah pihak yang bersengketa harus mentaati perjanjian yang dibuat dalam akta tersebut.

    Masalah mengenai pelanggaran perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha ini, dapat juga dikenakan sanksi administratif apabila pelaku usaha tidak memenuhi seluruh kewajibannya kepada konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
1.    Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
2.    Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3.    Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.”

    Pelaku usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti melakukan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1.    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
2.    Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3.    Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

    Permasalahan tersebut tidak akan terjadi apabila antara produsen dan konsumen memiliki kesadaran bahwa hubungan yang dilakukannya mempunyai ketergantungan yang sangat erat dan saling membutuhkan, sehingga produsen tidak akan melakukan perbuatan membahayakan kepentingan konsumen dengan mencampurkan bahan-bahan kimia berbahaya kedalam makanan pada saat proses pembuatan melebihi ambang batas dengan tujuan agar biaya produksi lebih murah, tampilan lebih menarik dan apapun itu tujuannya tanpa memikirkan akibat terhadap produsen. Konsumen juga tidak harus selalu mengedepankan harga tanpa memperdulikan mutu atau kualitas barang, sehingga mengorbankan kesehatannya serta lebih teliti terhadap barang dan/atau jasa yang banyak beredar di masyarakat.




Sumber:
1.    http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/perlindungan-konsumen-terhadap-produk-makanan-dan-minuman-kemasan-yang-belum-terdaftar-studi-di-dinas-kesehatan-kota-malang-linda-septian-38795.html
2.    http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/532/jbptunikompp-gdl-rinianggra-26585-6-unikom_r-v.pdf





Tidak ada komentar:

Posting Komentar