Kamis, 26 April 2012

KENAIKAN BBM DARI SUDUT EKONOMI


KENAIKAN BBM DARI SUDUT EKONOMI 

Duduk permasalahan terkait rencana kenaikan harga BBM ini sudah cukup jelas, yaitu terus meningkatnya harga minyak internasional. Asumsi harga minyak pada UU APBN 2012 adalah USD 90/barel, sementara harga WTI crude oil per 27 Maret kemarin sudah melonjak hingga sekitar USD 107/barel. Hal ini berdampak pada peningkatan beban untuk subsidi pada fostur APBN, yang menurut pemerintah, dapat meningkatkan defisit anggaran sebesar 1% dari 2.2% menjadi 3.2%. Tentunya hal ini akan berdampak pada peningkatan dana tambahan untuk menambal defisit tersebut, yang pastinya akan dibiayai oleh utang. Terkait kenaikan harga minyak dunia tersebut, pada pembahasan APBN-P 2012 pemerintah juga hendak menaikkan asumsi harga minyak menjadi USD 105/barel. Tidak ada perdebatan terkait ada tidaknya masalah atau perlu tidaknya kenaikan harga minyak dunia tersebut dipandang sebagai masalah atau tidak. Semua sepakat dalam memandang kenaikan harga minyak yang beresiko meningkatkan defisit anggaran sebagai suatu masalah. Perdebatan terletak pada bagaimana menangani masalah tersebut. Peningkatan Harga BBM Benar dan Perlu untuk Menyelamatkan Perekonomian Nasional Dalam keterangan pers terkait penyesuaian APBN-P dan harga BBM, Presiden SBY menjelaskan cara pandang pemerintah yang memandang masalah sehatnya APBN sangat penting bagi pengelolaan perekonomian nasional, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, beliau mengajak agar masalah penyehatan APBN jangan hanya dipandang sebagai penyelamatan fiskal semata, melainkah lebih luas dari itu. Intinya, tersirat bahwa penting kiranya menyelamatkan APBN dari potensi pembengkakan defisit, karena secara tidak langsung hal tersebut sama saja dengan menyelamatkan perekonomian nasional. Presiden bicara soal konsep besarnya, untuk informasi yang lebih spesifik, kita perlu menelisik argumen pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, soal perlunya menaikkan harga BBM. Harga minyak dunia memiliki dampak dua arah bagi Indonesia, yaitu peningkatan beban subsidi, dan peningkatan penerimaan karena Indonesia juga menjual minyak ke luar negeri. Namun jika tidak dilakukan peningkatan harga BBM maka net subsidi, dalam konteks BBM dan minyak saja (tidak termasuk TDL dan gas), maka peningkatan beban subsidi akan lebih besar dari pada peningkatan penerimaannya. Sementara jika dilakukan kenaikan harga BBM, maka peningkatan penerimaan akan lebih besar dari pada peningkatan beban subsidinya, yaitu sekitar Rp 30 T, sehingga dapat digunakan untuk membiayai program kompensasi khususnya BSLM. Dengan kata lain, APBN akan menjadi lebih sehat. Kalau menggunakan cara pandangnya presiden, maka perekonomian nasional akan lebih sehat. Selain untuk menyelamatkan APBN, Kementerian Keuangan juga memaparkan beberapa alasan lain, antara lain lonjakan konsumsi yang telah mencapai 47.8 juta kiloliter per Januari-Februari 2012, yang telah melampaui patokan pemerintah sebesar 40 juta kiloliter, yang mayoritas dikonsumsi oleh kalangan mampu. Menurut Kemenkeu, murahnya BBM juga ditengarai mengakibatkan banyaknya penimbunan dan penyelundupan. Jika dilihat dari sisi lingkungan pun, tentunya peningkatan harga BBM akan bersifat pro-environment, mengingat tingkat oktan BBM premium yang lebih rendah daripada Pertamax atau Pertamax plus. Sehingga, jika BBM premium jauh lebih murah dari pertamax, akan jauh lebih banyak orang yang akan mengkonsumsi premium, yang notabene tidak baik bagi lingkungan. Dari semua argumen di atas, dapat disimpulkan bahwa meningkatkan harga BBM adalah hal yang benar dan perlu dilakukan. Tidak begitu banyak argumen khusus yang dirumuskan oleh kelompok kontra. Inti dari argumennya adalah bahwa kenaikan harga BBM akan menyakiti masyarakat lemah karena kenaikan harga BBM tersebut akan diikuti oleh kenaikan harga barang lainnya. Selain itu, program kompensasi BSLM yang disiapkan pemerintah dipandang tidak mendidik mental bangsa, sarat penyelewengan, dan sarat kesalahan mencakup inclusion dan exclusion error, yang pada pengalaman lalu menyebabkan gejolak sosial yang terjadi di tidak sedikit daerah. Bukan hanya adu mulut, baku hantam pun terjadi karena amuk dari massa yang merasa seharusnya menerima BLT namun tidak menerima, atau merasa tidak bisa menerima ketidakadilan karena yang seharusnya tidak lagi pantas menerima BLT malah menerima BLT. Salah satu contoh ekstrem terjadi di daerah Sepatan, Provinsi Banten, di mana terjadi pembacokan, bahkan pembakaran kantor balai desa dan rumah kepala RW. Salah satu kepala RT yang menjadi narasumber juga mengaku bahwa dirinya harus pindah rumah karena tidak tahan dengan teror masyarakat. Setelah empat tahun, yaitu tahun ini, baru ia kembali ke rumahnya semula. Beberapa pihak juga memandang bahwa kenaikan harga BBM ini merupakan akal-akalan pemerintah agar dapat menyalurkan BSLM yang bermuatan politis, khususnya terkait semakin dekatnya pemilu presiden pada 2014 nanti. Adapun berita teranyar, ICW melaporkan adanya indikasi mark-up pada besaran subsidi BBM yang dipublikasikan pemerintah. Tapi tulisan ini tidak akan mengulas soal sahih tidaknya perhitungan ICA tersebut. Di sini hanya akan disimpulkan bahwa, secara pendek kata, kalangan kontra memandang rencana kenaikan BBM adalah hal yang tidak benar untuk dilakukan karena masih banyak cara lain yang dengan kreatifitas dapat dilakukan untuk menyelamatkan anggaran. Selain itu, program BSLM sebagai kompensasi sangat riskan akan penyimpangan, kesalahan, dan tidak mendidik mental bangsa untuk mandiri. Pemerintah Harus Menelaah Lebih Dalam Salah satu pihak yang mengambil posisi ini adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mengingatkan pemerintah akan resiko ledakan penduduk miskin dalam dua tahun ke depan. LIPI mengingatkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia pernah melonjak menjadi 16% saat harga BBM dinaikkan pada 2005, walau pada saat itu pemerintah telah menggelontorkan bantuan langsung tunai guna mereda efeknya. Hal lain yang mungkin belum terlalu dibahas oleh media adalah nasib para kalangan menengah bawah. BSLM hanya akan diberikan pada sekitar 18.5 juta rumah tangga yang merupakan 30% penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah, dan hanya untuk 6 bulan. Apakah ada jaminan bahwa pada bulan ke-7 dan selanjutnya mereka sudah akan berhasil meningkatkan pendapatan sehingga daya beli mereka tidak kembali turun manakala kompensasi berhenti? Bagaimana dengan mereka-mereka yang berada di desil 40% dan/atau 50%? Mereka adalah kalangan yang tidak terdata sebagai kalangan yang layak mendapatkan kompensasi, kecil kemungkinan pula dapat meningkatkan pendapatannya, namun harus berhadapan dengan peningkatan harga BBM yang signifikan, yaitu sekitar 30%, juga peningkatan harga tularan pada produk/jasa lainnya. Tidakkah ada cukup besar kemungkinan kalangan tersebut akan jatuh miskin? Kiranya kekhawatiran yang dilontarkan oleh LIPI adalah wajar adanya. Pemerintah lantang mengungkapkan betapa subsidi BBM telah dinikmati oleh kalangan mampu sehingga tidak tepat sasaran. Benar, jika kita hanya membatasi pandangan kita pada dampak langsung saja. Pertimbangan lain yang juga dinilai kurang mengudara adalah terkait dengan tepat tidaknya waktu pelaksanaan dari kenaikan harga tersebut, terlepas dari baik atau tidaknya kebijakan untuk menaikkan harga BBM tersebut. Dipetik dari liputan wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Bambang P.S Brodjonegoro, terkait maraknya aksi demonstrasi di ibukota dan nusantara, Pak Bambang menjawab bahwa masyarakat kiranya juga harus mengerti secara gamblang mengenai kondisi postur anggaran negara. Salah satu suara yang menarik adalah yang berbunyi bahwa terlepas dari baik atau tidaknya keputusan untuk menaikkan harga BBM, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan masak-masak mengenai waktu pelaksanaan dari kebijakan tersebut? Beberapa kalangan memandang bahwa pemerintah belum mengukir prestasi yang luar biasa, dalam artian, belum cukup luar biasa untuk mengkompensasi rasa curiga atau tidak percaya masyarakat terhadap pemerintah kita yang masih dalam masa terapi untuk menghilangkan budaya korupsi. Belum cukup luar biasa untuk membuat masyarakat, secara umum, merasa dipikirkan dan dilayani oleh negara. Belum cukup luar biasa pula untuk membuat masyarakat merasa bahwa pemerintah mengerti terhadap kondisi dan kebutuhan rakyatnya. Ruang ini tidak ada ukurannya memang. Sehingga kita tidak dapat buktikan secara pasti apakah masyarakat kebanyakan memang benar-benar merasa seperti itu atau tidak. Melainkan, hal tersebut lebih kepada apa yang dirasakan berdasarkan apa yang dilihat, dengar, dan diskusikan sehari-hari di tengah masyarakat sekitar kita. 


Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/29/kenaikan-harga-bbm-hal-tepat-di-waktu-yang-salah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar