Minggu, 29 April 2012

REKOMENDASI TULISAN HALAL DARI ASPEK EKONOMI


Tulisan 2
BAB 1
PENDAHULUAN

    Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, sangatlah ironis, bila harus mengimpor makanan halal dari Negara lain, terlebih dari Negara non Muslim. Di sisi lain, permintaan pasar global terhadap produk dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan trend yang terus meningkat. Untuk dapat meraih peluang pasar, maka pengetahuan tentang kebutuhan konsumen merupakan barometer yang sangat berharga. Penelitian Perilaku Konsumen Masyarakat Muslim terhadap Konsumsi Makanan Halal merupakan penelitian awal dari serangkaian penelitian tentang Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global yang direncanakan akan dilakukan pada lima tahun ke depan. Penelitian ini tidak hanya penting untuk memberikan masukan atas kebijakan dalam penetapan sertifi kasi produk halal, tetapi juga merupakan pengembangan ilmu khususnya ekonomi Islam dan psikologi Islam.

    Label makanan dicap halal jika isi makanan sesuai dengan aturan makanan Muslim. Sebuah sertifikasi halal analog dengan sertifikasi halal, dalam hal ini diberikan oleh lembaga sertifikasi pihak ketiga, tetapi makanan halal belum tentu halal, dan makanan halal tidak selalu halal. Bagi umat Islam yang prihatin mematuhi Syariah, atau hukum Islam, label halal bertindak sebagai jaminan bahwa isi dari makanan tidak haram.
   
    Di negara-negara berbahasa Arab, kata tersebut digunakan untuk merujuk secara umum untuk apa saja yang diperbolehkan oleh aturan Islam, sebagaimana firman dalam bahasa Arab berarti "halal" atau "diijinkan." Di seluruh dunia, ini berlaku terutama makanan. Sebagian besar negara memiliki undang-undang pelabelan makanan untuk melindungi sertifikasi halal dan halal, untuk memastikan bahwa label makanan yang akurat.
Menurut hukum Islam, Muslim dilarang makan daging babi, darah, darat karnivora, omnivora, bangkai, dan minuman keras. Larangan terhadap daging babi adalah salah satu aspek paling sulit dari diet Muslim, karena masuknya produk samping daging babi dalam banyak makanan. Sebuah daftar panjang bahan mungkin menyembunyikan produk daging babi yang diturunkan, jadi Muslim yang taat melihat label halal. Selain itu, ada pembatasan pada makanan laut; banyak Muslim percaya bahwa ikan hanya dengan timbangan halal, tidak termasuk kerang dan krustasea sebagai haram.

    Fitur yang membedakan penting dari daging halal adalah bahwa hewan harus disembelih atas nama Allah. Setiap Muslim bisa menyembelih binatang untuk makanan, selama ia menyembelih binatang dengan cepat memutuskan arteri utama leher, dan mengucapkan nama Allah sebagai hewan dibunuh. Hewan disembelih dengan cara lain itu haram, seperti juga binatang yang disembelih atas nama Dewa palsu, atau hewan yang tidak didedikasikan untuk dewa pun ketika mereka dibantai.
   
    Di negara-negara muslim, mencari makanan halal relatif mudah, karena toko dan restoran sering dijalankan oleh umat Islam yang taat syariah. Di luar negara-negara Muslim, bagaimanapun, mengikuti Syariah bisa sangat sulit, terutama dengan makanan olahan. Beberapa organisasi Muslim telah menerbitkan daftar bahan yang mengandung daging babi, dan perusahaan yang membuat makanan yang aman untuk dimakan.













BAB II
PEMBAHASAN

Isu Produk halal pada makanan dan minuman yang beredar di masyarakat bukanlah hal baru dalam upaya pengakomodasian kepentingan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya.
Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.

Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak dibidang pengolahan produk makanan dan minuman atau diistilahkan secara umum sebagai pangan. Pangan (makanan dan minuman) yang halal, dan baik merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya supaya dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Demi ketentraman dan kenyamanan konsumen pelaku usaha wajib menampilkan labelisasi halal yang sah dikeluarkan oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Dengan menampilkan labelisasi halal pada pangan yang ditawarkan ke konsumen ini menjadikan peluang pasar yang  baik sangat terbuka luas dan menjanjikan.

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO.[4] Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut label/tanda halal pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar yang memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.
Menurut paham Futurolog kelahiran Amerika bernama John Naisbit, pada era global seperti sekarang ini segala sesuatunya serba teknologis, terutama dalam persoalan-persoalan gaya hidup, sehingga ia menyebutnya sebagai “global lifestyle”. Pada era ini, budaya yang mengalami perkembangan dengan sangat dahsyat adalah makanan, pakaian dan hiburan, atau ia menyebutnya dengan 3 F yakni food, fashion dan fun. Dengan demikian pada era globalisasi ini, industri pangan Indonesia harus dapat meningkatkan daya saing produk pangan yang dihasilkannya melalui jaminan pangan halal dan baik. Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik, bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia berbahaya. Halal berkaitan dengan jaminan kehalalan yang ditunjukkan dengan adanya sertifikat halal dari LPPOM MUI.

Disamping jaminan pangan baik, pemberian jaminan halal akan meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia terhadap produk-produk impor yang tidak mendapatkan sertifikat halal. Hukum halal pangan bagi umat Islam sebetulnya tidak hanya merupakan doktrin agama saja tetapi terbukti secara ilmiah adalah baik, sehat dan dapat diterima akal (Scientifically sound), jadi pangan baik dan halal, bermanfaat dan baik untuk semua umat manusia. Mengkonsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu mendapatkan pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim. Halal berarti lepas atau tidak terikat. Makanan yang halal adalah yang diijinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan. Pangan yang baik di sini dapat diartikan sama dengan pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik.

Respons positif terhadap kepentingan sertifikasi dan pencantuman tanda halal pada pangan dan produk lainnya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan setingkat Keputusan Menteri Agama secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik yang berkaitan dengan sertifikasi dan pencantuman tanda halal, oleh karena itu pengaturan demikian belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal, semua undang-undang tersebut mensyaratkan agar pelaku usaha memproduksi produk yang halal, tetapi keterangan yang menentukan kehalalan, pihak yang berwenang menerbitkan label halal, dan keseragaman logo label halal pada produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia tidak jelas diberlakukan.

Peraturan tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu di dalam Bab IV tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1. Di dalam Pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa. Ayat tersebut secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan tetapi sayangnya pengertian ini dimentahkan oleh penjelasan dari ayat tersebut yang menguraikan bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam, jadi pencantuman keterangan halal pada label pangan bukan merupakan suatu kewajiban untuk semua produsen pangan.

Aturan tentang label dan iklan pangan kemudian diperinci di dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pada Pasal 3 ayat 2, persyaratan minimal keterangan yang harus tercantum dalam label tidak lagi mencantumkan keterangan halal sebagai salah satu persyaratan sebagaimana yang tercantum pada UU Pangan Pasal 30 ayat 2. Di dalam Peraturan Pemerintah ini aturan tentang label halal termaktub di dalam Pasal 10 dan Pasal 11.
•    Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi dan memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
•    Sedangkan Pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat-ayat tersebut mempertegas penjelasan dari UU Pangan Pasal 30 ayat 2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.














BAB III
PENUTUP

Menurut Direktur LPPOM MUI, Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, konsumen Indonesia sudah memperhatikan label halal. Ini terbukti label halal mempengaruhi penjualan produk makanan. Isu lemak babi pada tahun 1988, menyebabkan anjloknya omset penjualan beberapa produsen pangan. Isu adanya pencampuran daging sapi dengan daging celeng, menyebabkan anjloknya omset penjualan para penjual daging dan hasil olahannya. Isu baso tikus, ikan dan ayam berpormalin, menyebabkan turunnya omset penjualan. Labelisasi halal merupakan perijinan pemasangan logo halal pada kemasan produk pangan oleh Badan POM yang didasarkan pada sertifikasi halal yang dikeluarkan komisi fatwa MUI. Sertifikat berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Industri pangan yang akan mengajukan sertifikasi halal disyaratkan telah menyusun dan mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal. Pengaturan secara hukum mengenai labelisasi halal ini mencerminkan bahwa persoalan ini dianggap bukan persoalan penting bagi pemerintah. Upaya mengharmonisasikan dan merinci atau bahkan membentuk aturan yang lebih jelas dan terarah merupakan hal utama yang harus menjadi prioritas karena ini termasuk kedalam permasalahan kemaslahatan umat, khususnya umat Islam.



Sumber:
http://www.mediasriwijaya.com/2012/04/label-halal-antara-syariah-politik-dan.html
http://makanandanminumanhalal.blogspot.com/2012/02/apa-arti-label-makanan-dan-minuman.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar